Aspek Kelembagaan dan Produk Regulasi
Peyelenggaraan Rantai Pasok Konstruksi di Indonesia
1. Pendahuluan
Pengaturan rantai pasok konstruksi (RPK) diperlukan agar hubungan
antar pihak pemasok dan pelanggan yang terkait dalam penyelenggaraan konstruksi
dapat memberikan nilai tambah bagi keberhasilan suatu penyelenggaraan
konstruksi. Pengaturan RPK dapat mencakup pengaturan
tentang entitas usaha atau perusahaan/ badan usaha, sistem pemilihan pemasok
(procurement system), sistem transaksi, perikatan (kontrak), jaminan penyerahan
(delivery), jaminan kualitas barang/ jasa, pembayaran dan risiko atau
penjaminan. Disamping itu, pengaturan tentang persaingan dan akses pasar juga
bagian penting dari rantai pasok konstruksi.
BP Konstruksi (2015), bahwa peraturan terkait konstruksi berguna untuk :
- Mengatur dan memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi sehingga memiliki struktur usaha yg kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas
- Mewujudkan penyelenggaraan jakon yg menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hal hak dan kewajiban.
- Mewujudkan peran masyarakat yang aktif dan turut berkontribusi pada bidang jasa konstruksi
Kesenjangan distribusi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK)/kontraktor dan pasar konstruksi/pekerjaan konstruksi
yang tidak didukung oleh sistem logistik yang lancar telah menggangu proses
penyediaan produk MPK oleh sistem logistik yang lancar. Hal ini juga dimaknai
bahwa belum terpadunya aspek infrastruktur dan pengelolaan MPK dari sisi hulu
hingga hilir dalam penyelenggaraan konstruksi nasional. Padahal proses
integrasi suplai MPK dari hulu hingga hilir ditenggarai juga melintasi berbagai
organisasi dan wadah/pranata kelembagaan yang berbeda-beda. Peranan kelembagaan
yang menyelaraskan dan mengintegrasikan seluruh jaringan organisasi penyedia
dan penyalur produk MPK nasional dari hulu hingga hilir ditemui masih bersifat
parsial dan pembinaannya tersebar (Perpres No. 26 Tahun 2012). Proses
penyediaan MPK pada penyelenggaraan konstruksi nasional sesuai regulasi UUJK No.
18
tahun 1999 baru mengatur penyediaan produk
MPK sebagai sumber daya konstruksi hingga pada tier ke-2 dan tier ke-1 (Gambar 1‑6.). Sedangkan tier (5,4,3) bagian hulu diatur oleh
regulasi dan kewenangan lain seperti:
- Kementerian Perdagangan
mengatur aspek distribusi, pergudangan,
dan pasar/tata niaga MPK.
- Kementerian Perindustrian
mengatur aspek produksi manufaktur MPK.
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatur aspek penyediaan bahan baku atau bahan galian MPK.
- Kementerian Perhubungan
mengatur aspek transportasi dan
pengangkutan produk MPK.
- Kementerian
Badan Usaha Milik Negara mengatur aspek pengelolaan infrastruktur dan penyedia
jasa logistik.
Lebih lanjut, aspek integrasi pengintegrasian tidak saja
dilakukan pada kelembagaan institusi tetapi pada penyelarasan berbagai produk
regulasi/perundangan. Beberapa undang-undang yang berpotensi tumpang tindih
pada proses penyediaan produk MPK berupa:
- Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Undang-Undang Jalan.
- Undang-Undang Pelayaran.
- Undang-Undang Penerbangan.
- Undang-Undang Pergudangan.
- Undang-Undang Perkeretaapian.
- Undang-Undang Kepabeanan.
- Undang-Undang Perposan/Jasa Titipan.
Mengacu pada kondisi kelembagaan dan regulasi maka berbagai
bidang yang memiliki keterkaitan langsung dengan sistem logisitik
penyelenggaraan MPK masih memerlukan pembinaan dan penanganan yang masih
parsial, tersebar dan belum terintegrasi (Perpres No. 26 Tahun, 2012).
2. Kondisi Eksisting Regulasi Sektor Konstruksi di Indonesia
No | Kelompok Pengaturan | Undang - Undang Tentang | Undang - Undang Nomor | Subject dan Objek Pengaturan |
1 | Ketenagakerjaan sektor konstruksi | Tenaga Kerja | 13 Tahun 2003 | • Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan |
• Pelatihan kerja, penempatan dan perluasan kesempatan kerja | ||||
• Penggunaan tenaga kerja asing | ||||
• Hubungan kerja, perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan | ||||
2 | Pengembangan industri bahan produk konstruksi | Perindustrian | 5 Tahun 1984 | • Pengaturan, pembinaan,pengembangan dan izin usaha industri |
• Teknologi desain, produk, rancang bangun dan rekayasa industri | ||||
3 | Pengembangan industri konstruksi Pelaksanaan konstruksi dalam pemanfaatan energi dan SDA | Minyak dan Gas | 22 Tahun 2001 | • Penguasaan dan pengusahaan kegiatan usaha hulu dan hilir Migas |
• Pembinaan dan pengawasan pengelolaan migas | ||||
Kehutanan | 41Tahun 1999 | • Perencanaan, pengelolaan, pemanfatan dan konservasi hutan | ||
Sumber Daya Air | 7 Tahun 2004 | • Perencanaan, pengelolaan, pemanfatan dan konservasi SDA | ||
• Pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan | ||||
Panas Bumi | 27 Tahun 2003 | • Penguasaan, pengusahaan, pengelolaan, dan pemanfatan panas bumi | ||
Ketenaga Listrikan | 20 Tahun 2002 | • Pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik | ||
4 | Perencanaan dan pelaksanaan konstruksi | Bangunan Gedung | 28 Tahun 2002 | • Persyaratan, pembangunan dan pemeliharaan bangunan gedung |
Perumahan dan Permukiman | 4 Tahun 1992 | • Persyaratan, pembangunan dan pemeliharaan perumahan dan permukiman | ||
Sumber Daya Air | 7 Tahun 2004 | • Perencanaan, pengelolaan, pemanfatan dan konservasi SDA | ||
• Pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan | ||||
Jalan | 38 Tahun 2004 | • Klasifikasi, persyaratan, perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan jalan | ||
5 | Pengaturan dan pembinaan usaha sektor konstruksi | KADIN | 1 Tahun 87 | • Pengaturan Kantor Dagang Indonesia |
Wajib Daftar Perusahaan | 3 Tahun 1983 | • Pengaturan perizinan perusahaan | ||
Perseroan Terbatas | 1 Tahun 1995 | • Pendirian, anggaran dasar, pendaftaran, dan pemodalan perseroan terbatas | ||
Usaha Kecil | 9 Tahun 1995 | • Pembinaan, pengembangan, pengendalian, kemitraan, koordinasi dan penjaminan usaha kecil | ||
BUMN | 19 Tahun 2003 | • Pendiriaan, pengelolaan, dan pengawasan BUMN | ||
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat | 5 Tahun 1999 | • Perjanjian dan kegiatan yang dilarang (oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, oligopsoni) | ||
6 | Pengaturan lembaga keuangan pendukung sektor konstruksi | Perbankan | 10 Tahun 1998 | • Perubahan kedua UU No.7/1992 tentang Perbankan |
• Ketentuan segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. | ||||
Usaha Perasuransian | 2 Tahun 1992 | • Bidang, jenis, lingkup, obyek, dan perizinan usaha perasuransian | ||
7 | Perlindungan hak kekayaan intelektual teknik dan manajemen konstruksi; | Hak Cipta | 19 Tahun 2002 | • Lingkup, masa berlaku, pendaftaran, dan lisensi hak cipta |
Paten | 14 Tahun 2001 | • Lingkup, masa berlaku, permohonan dan pendaftaran paten | ||
Merek | 15 Tahun 2001 | • Lingkup, masa berlaku, permohonan dan pendaftaran merek | ||
Rahasia Dagang | 30 Tahun 2000 | • Perlindungan rahasia dagang | ||
Desain Industri | 31 Tahun 2000 | • Lingkup, pendaftaran, dan jangka waktu perlindungan desain industri | ||
Desain Tata Letak Industri Terpadu | 32 Tahun 2000 | • Lingkup, pendaftaran, dan jangka waktu perlindungan desain tata letak sirkuit terpadu | ||
8 | Ketentuan Perpajakan usaha di sektor konstruksi | Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan | 16 Tahun 2000 | • Perubahan kedua UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan |
• NPWP, pengukuhan pengusaha kena pajak, surat pemberitahuan, dan tata cara pembayaran pajak | ||||
Pajak Penghasilan | 17 Tahun 2000 | • Perubahan kedua UU No.7/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pajak penghasilan | ||
9 | Perlindungan konsumen di sektor konstruksi | Perlindungan Konsumen; | 8 Tahun 1999 | • Hak dan kewajiban konsumen |
• Hak, kewajiban dan tanggungjawab pelaku usaha | ||||
10 | Ketentuan hukum dan pemberantasan KKN di sektor konstruksi | Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dasar Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme | 28 Tahun 1999 | • Penyelenggaraan negara bebas KKN |
• Peran serta masyarakat dalam Komisi Pemeriksa | ||||
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi | 20 Tahun 2001 | • Perubahan UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi | ||
Arbitrase dan Masalah Penyelesaian Sengketa | 30 Tahun 1999 | • Alternatif penyelesaian sengketa | ||
• Syarat aribatase, biaya arbitase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar | ||||
Pengadilan Tata Usaha Negara | 5 Tahun 1986 | • Tata cara pengadilan tata usaha negara | ||
11 | Tata ruang dan lingkungan hidup terkait penyelenggaraan konstruksi | Penataan Ruang | 24 Tahun 1992 | • Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang |
• Wewenang dan pembinaan penataan ruang | ||||
Lingkungan Hidup | 23 Tahun 1997 | • Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup | ||
• Wewenang pengelolaan lingkungan hidup | ||||
• Persyaratan penataan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup | ||||
12 | Ketentuan Otonomi Daerah untuk pelaksanaan pembinaan konstruksi | Pemerintah Daerah | 32 Tahun 2004 | • Pembentukan daerah dan kawasan khusus |
• Pembagian urusan dan penyelenggaraan pemerintahan | ||||
• Kerjasama dan penyelesaian perselisihan | ||||
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah | 33 Tahun 2004 | • Prinsip kebijakan perimbangan keuangan | ||
• Dasar pendanaan dan sumber penerimaan daerah | ||||
• Dana perimbangan dan dana tugas pembantuan | ||||
• Sistem informasi keuangan daerah | ||||
13 | Pengembangan SDM dan teknologi konstruksi | Sistem Pendidikan Nasional | 20 Tahun 2003 | • Prinsip penyelenggaraan pendidikan |
• Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan | ||||
• Standar nasional pendidikan dan kurikulum | ||||
• Sarana dan prasarana, tenaga, dan pendanaan pendidikan | ||||
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi | 19 Tahun 2002 | • Fungsi, kelembagaan, sumber daya dan jaringan | ||
• Fungsi peran serta pemerintah dan masyarakat | ||||
14 | Pendanaan atau pembiayaan penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi | Keuangan negara | 17 Tahun 2003 | • Keuangan negara |
15 | Usaha, Penyelenggaraan dan Pembinaan jasa Konstruksi | Jasa Konstruksi | 18 Tahun 1999 | • Jenis, bentuk dan bidang usaha jasa konstruksi, |
• Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, | ||||
• Pembinaan jasa konstruksi, |
3. Kelembagaan dan Produk
Regulasi
terkait
Pengaturan RP pada
kewenangan dan proses regulasi dalam rangka memperkuat hubungan antara pihak
pemasok dan pelanggan terkait dalam penyelenggaraan konstruksi sehingga
bermakna pada nilai tambah sektor konstruksi. Walaupun pengaturan secara khusus
tentang RP di Indonesia belum ada, namun secara umum sudah ada yang mengatur
bagian-bagian dari komponen RP itu sendiri. Aspek kelembagaan dan regulasi
merupakan dua aspek yang saling berkaitan. Regulasi berfungsi mengatur suatu
substansi untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Sehingga regulasi
sebagai instrumen kebijakan apapun bentuknya (penetapan, pengesahan, pencabutan
dan perubahan) sedangkan kelembagaan/lembaga sebagai organisasi/pranata yang
diberi kewenangan untuk menjalankan amanat produk regulasi.
Berbagai bentuk produk regulasi terkait penyelenggaraan MPK sesuai
hirarki tertinggi menurut perundangan dalam negara kesatuan Indonesia dibagi
sebagai berikut:
- Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) memuat tujuan negara yang melandasi penyelenggaraan MPK bahwa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini menjadi legitimasi peran negara melalui pembangunan ekonomi dengan salah satu pilarnya yakni penyediaan infrastruktur dan didalamnya berupa konstruksi terbangun. Pembangunan infrastruktur sangat di dukung oleh penyelenggaraan konstruksi dan penyediaan MPK.
- Pada hirarkis kedua sebagai penyelenggaraan lebih lanjut dilaksanakan melalui pengaturan UU dan disajikan pada Tabel 1.
- Pada pengaturan lebih lanjut, di bawah UU terdapat Peraturan Pemerintah (PP) atau Perpu (Peraturan Penganti UU) yang muncul sebagai bentuk regulasi sementara sebelum disetujui oleh DPR menjadi UU dan PP terkait penyelenggaraan MPK atau logistik komoditas utama. Pada Tabel 2.
- Pada tahap berikutnya, Peraturan Presiden (Perpres) yang berfungsi dalam penyelenggaraan pelaksanaan administrasi negara dan pemerintahan. Perpres terkait sistem logistik yang dijadikan rujukan selama ini yakni Perpres No. Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Perpres ini menjadi satu-satunya regulasi tertinggi yang memuat dan membahas logistik atau persoalan pergerakan berkesinambungan komoditas utama dari hulu hingga hilir yang berperan strategis pada pembangunan.
Kelompok
Lembaga Pengaturan
|
Undang
– Undang Nomor dan Tentang
|
Subyek
dan Obyek Pengaturan MPK
|
Perhubungan/
Transportasi
|
UU No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
|
Menciptakan keselamatan, kelancaran, ketertiban
transportasi jalan, moda
dan jaringan moda transportasi yang layak, biaya transportasi yang murah dan efisien serta
pembiayaan pemeliharaan jalan yang berkesinambungan
dengan melibatkan stakeholder jalan.
|
UU No. 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan.
|
Kewajiban dan tanggung jawab pengangkutan meliputi kewajiban mengangkut
barang yang telah disepakati, menerbitkan dokumen angkutan, menjamin
keselamatan barang angkutan
|
|
UU No. 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran.
|
Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan memperlancar arus perpindahan
orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan
di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional.
|
|
UU No. 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
|
Mengatur peran swasta selain PT Kereta Api dalam mengangkut
barang/penumpang.
|
|
Pekerjaan Umum
|
UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
|
Pengaturan kelas jalan dan kewenangan penggunaan jalan.
|
UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
|
Pengaturan komponen rantai MPK yang diatur oleh Kemen-PU.
|
|
Sistem Informasi
|
UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
|
Keterbukaan informasi data pasar konstruksi yang memuat pasokan dan
kebutuhan MPK nasional.
|
UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
|
Besaran dan volume transaksi pasokan dan kebutuhan MPK nasional.
|
|
Pertambangan
|
UU No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
|
Pengaturan ekploitasi, ekplorasi dan pengolahan pemurnian minyak bumi
yang menghasilkan aspal sebagai salah satu MPK utama.
|
UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
|
Pengaturan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dilakukan di dalam negeri termasuk bahan baku MPK
sehingga diperoleh nilai tambah.
|
|
UU Terkait
|
UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
|
Pengaturan dukungan MPK unutk rekonstruksi pasca bencana alam.
|
UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
|
Pengaturan modal pembangunan dan penambahan pabrik MPK untuk meningkatkan
kapasitas produksi pabrik.
|
|
UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
|
Pengaturan mekanisme pasar/struktur pasar MPK di antara penjual dan
pembeli.
|
|
UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
|
Pengaturan kepuasan pelanggan akhir terhadap produk MPK yang diterima
sesuai spesifikasi.
|
Tabel 2. Peraturan Pemerintah Terkait
Logistik dan Rantai Pasok Komoditas
Kelompok
Lembaga Pengaturan
|
Perpu/PP
Nomor dan Tentang
|
Subyek
dan Obyek Pengaturan MPK
|
Perindustrian
|
Permenrin No 44/M-Ind/Per/6/2014 tentang Lembaga Penilaian dan
Pengawasan SNI Semen.
|
Pengaturan standar secara nasional produk MPK (semen)
|
Kepmen.
67/M-Ind/Per/8/2014 tentang:
- SNI
15-2049-2004 Semen Portland.
- SNI
15-3500-2004 Semen Portland Campur
- SNI
15-3758-2004 Semen Masonry.
- SNI
15-7064-2004 Semen Portland
Komposit.
- SNI
15-0129-2004 Semen Portland Putih.
- SNI
15-0302-2004/Amd:2010 Semen Portland
Pozolan, Amandemen 1
|
Keputusan pegaturan jenis semen yang memiliki SNI.
|
|
Kepmen.
43/M-Ind/Per/2/2012 tentang SNI 07-2610-1992 Baja Profil H Hasil Pengelasan
Dengan Filer Untuk Konstruksi Umum.
|
Pengaturan SNI Baja profil H dan Baja tulangan.
|
|
Kepmen.
42/M-Ind/Per/2/2012 tentang SNI 1154:2011
Tujuh Kawat Baja Tanpa Lapisan Dipilin Untuk Konstruksi Beton Pratekan.
|
Pengaturan kawat baja unutk beton pratekan.
|
|
Perdagangan
|
Permendag No
40 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Clinker
Semen dan Semen.
|
Pengaturan impor clinker semen
|
28/M-Dag/Per/6/2014
tentang Ketentuan Impor Baja Paduan.
|
||
Kepmenkeu Nomor 154/KMK.01/2004 Tanggal 24 Maret 2004 tentang
Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Hot
Rolled Coil (HRC), Pelat Baja, dan Cold
Rolled Coil (CRC)
|
Pembebasan bea masuk impor baja
|
|
Pekerjaan Umum
|
PP No. 4 Tahun 2010 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
|
Pengaturan masyarakat sebagai konsumen MPK
|
PP No. 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol
|
Pengaturan akses transportasi jalan bebas hambatan untuk MPK
|
|
PP No. 59 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
|
Pengaturan penyelenggaraan konstruksi
|
Berbagai regulasi dan kewenangan terkait penyelenggaraan MPK dari yang
tertinggi hingga terendah merujuk bahwa persoalan RP memuat lintas sektoral dan
spasial. Amanat UUD 45 untuk mewujudkan bangsa yang adil dan makmur maka
pendekatan RP dapat menjadi jembatan yang dapat menghubungkan tujuan tertinggi
negara ini. Secara utuh, regulasi dan kewenangan terkait RP belum ada tetapi
bagian-bagian dari RP seperti distribusi, transportasi dan logistik sudah
memiliki regulasi tetap. Untuk mempermudah kajian regulasi RP maka digunakan
salah satu tinjauan aspek di bawah RP yakni sistem logistik nasional. Regulasi
terkait logistik baru di insiasi melalui Perpres No. 26 Tahun 2012 dan
merupakan regulasi tertinggi yang mengatur persoalan lintas sektoral dan lintas
kelembagaan.
Mengacu pada Perpres tersebut, sebenarnya memiliki posisi yang masih
rendah dibandingkan dari regulasi terkait transportasi dan distribusi yang
sudah memiliki UU sendiri atau dua tingkat lebih tinggi. Padahal
transportasi/distribusi menjadi bagian dari logitik atau RP. Pada UU
transportasi (darat, laut, udara dan kereta api) diketahui tidak terdapat satu
kata dan kalimat yang menyebut sistem logistik. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tidak ada dasar bagi Perpres Sislognas untuk merujuk UU tersebut. Inisiasi
penyusunan Sislognas diambil oleh tim penyusunan sebagai terobosan untuk
mengisi kekosongan regulasi yang ada. Padahal mengingat logistik sebagai bagian
dari RP, logistik menjadi suatu pendekatan lintas sektoral/institusi yang
membutuhkan koordinasi dan integrasi. Pada konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), logistik tidak hanya berperan untuk meningkatkan daya saing
sektor konstruksi tetapi menyatukan dan menselaraskan kemajuan antar sektor
konstruksi antar wilayah NKRI.
Regulasi dan kelembagaan MPK telah memiliki hirarkis yang mengatur
penyelenggaraan administrasi negara dan pemerintahan sesuai tingkatan kewenangan
teknis. Berbagai kewenangan teknis tersebut sebagai berikut:
- Kewenangan perdagangan meliputi distribusi, pergudangan dan pasar MPK berada di bawah
koordinasi Kementerian Perdagangan;
- Kewenangan transportasi dan pengangkutan MPK berada di bawah Kementerian
Perhubungan;
- Kewenangan desain dan pembangunan infrastruktur (jalan) berada di bawah
Kementerian Pekerjaan Umum;
- Kewenangan
kepabeanan,
Perpajakan Asuransi dan Perbankan berada di bawah Kementerian
Keuangan;
- Kewenangan telekomunikasi, perposan dan kurir berada di bawah
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
- Kewenangan pengelolaan infrastruktur dan penyedia jasa logistik berada di bawah
Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
- Kewenangan pendirian perusahaan dan penanaman modal berada di bawah Badan
Koordinasi Penanaman Modal; dan
- Kewenangan komoditas strategis dan ekspor-impor ditangani oleh berbagai
Kementerian Teknis, antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Energi Dan Sumber Daya
Mineral.
Persoalan mendasar selain belum memiliki regulasi formal yang kuat
setingkat UU yang mengatur RP atau logistik, persoalan logistik juga belum
memiliki kewenangan yang dapat bertanggungjawab langsung di bawah Presiden.
Urgensi pembentukan kelembagaan logistik tentunya tidak dapat terjadi apabila
UU logistik belum dapat diwujudkan. Karena dengan amanat UU-lah maka inisiasi
lembaga/badan logistik nasional dapat memiliki otoritas penuh mendisiplinkan
penyelenggaraan MPK dari hulu hingg hilir. Pada dasarnya urgensi sebuah
pembentukan UU logistik/RP dapat dimulai oleh semangat untuk menyamakan seluruh
pemangku kepentingan yang terlibat dari hulu hingga hilir penyelenggaraan MPK.
Sehingga dapat dikatakan bahwa terbentuknya UU logistik oleh karena belum dapat
diintegrasikan dan diharmoniskan semangat dalam persfektif dan kepentingan
seluruh yang terlibat dalam sistem RP/logistik. Secara ringkas posisi kewenangan dan produk
regulasi pada penyelenggaraan MPK nasional disajikan pada Gambar
1.
Gambar 1. Posisi Kewenangan dan Produk Regulasi
Penyelenggaraan Material dan Peralatan Konstruksi (Pandarangga, 2015)
Aspek kelembagaan RP penyelenggaraan MPK berperan untuk mengintegrasikan
dan menselaraskan suplai MPK yang melewati organisasi/pranata sepanjang jalur
dan simpul distribusi MPK. Kondisi saat ini bahwa kelembagaan RP MPK masih
bersifat parsial dan pembinaannya tersebar di berbagai kementerian/lembaga
sehingga berpotensi menimbulkan masalah yang berkaitan dengan aspek koordinasi,
keselarasan, keterpaduan berbagai unsur yang terlibat. Oleh karena itu, tata
kelola yang kuat diperlukan untuk mendukung efektifitas pelaksanaan koordinasi,
dalam rangka menyelaraskan dan mengintegrasikan seluruh kebijakan pengembangan
RP MPK.
Aspek regulasi merupakan seperangkat aturan yang memberikan legitimasi
dan kredibilitas dalam rangka perubahan peran pemerintah/regulator dan dalam
rangka menghormati kewajiban-kewajiban dalam kontrak penyelenggaraan MPK.
Namun, kondisi berbagai regulasi terkait penyelenggaraan MPK nasional masih
bersifat parsial di beberapa lembaga/kementerian dan pada umumnya regulasi
tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan perspektif RP MPK secara menyeluruh.
5. Daftar Pustaka
Pandarangga, A, (2015) Konseptualisasi Penyelenggaraan Rantai Pasok Material dan Peralatan Konstruksi di Indonesia, Disertasi Doktor Teknik Sipil - Universitas Diponegoro Semarang
Suraji, A. (2012). Inovasi Pengaturan Rantai Pasok Konstruksi. dalam Buku Konstruksi Indonesia 2012, Harmonisasi Rantai Pasok Konstruksi: Konsep, Inovasi dan Aplikasinya di Indonesia (pp. 88 – 97). Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi.
BP Konstruksi (2015) Peraturan Terkait Jasa Konstruksi,
Jakarta
SCI Supply Chain
Inodnesia, 2015 http://supplychainindonesia.com/new/arsip/peraturan-perundangan/