Tantangan Penyelenggaraan Rantai Pasok Material dan Peralatan Konstruksi di Indonesia
Oleh: Adi Pandarangga, M. Agung
Wibowo, Jati Utomo Dwi Hatmoko
Program Doktor Teknik Sipil
Universitas Diponegoro
September 2015
1. Peran
Strategis Industri Konstruksi Pada Pembangunan Nasional
Peran sektor konstruksi sangat sentral
dalam pembangunan ekonomi, peran tersebut berupa kapasitas dan besaran nilai
pada PDB (Produk Domestik Bruto) (BPS, 2012). Menurut BPS (2012) kontribusi
sektor konstruksi pada PDB yaitu 2010: 20,25%; 2011: 10,16%; 2012: 10,45%, dan
nilai ini akan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan
kebutuhan infrastruktur. Peningkatan
kapasitas tidak hanya menandakan peningkatan nilai semata
tetapi lebih dari itu berupa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
biaya, waktu, kualitas pekerjaan
dan terlebih lagi akan meningkatkan harga diri sebagai bangsa (Trigunarsah, 2006; Todaro dan Smith, 2003; Chiragi, 2000).
Industri konstruksi sebagai salah satu penyedia
infrastruktur untuk mendukung perekonomian nasional juga menjadi penarik bagi
berbagai kegiatan industri penunjang. Hubungan keterkaitan dengan industri lain
berupa industri bahan dan peralatan konstruksi, perbankan, asuransi dan
berbagai profesi dan aktifitas lainnya. Aktifitas utama sebuah industri
konstruksi ditandai oleh besar-kecilnya pasar konstruksi yang dikonsepsikan
sebagai pertemuan kebutuhan (demand)
barang /jasa konstruksi dengan pasokannya (supply).
Untuk menselaraskan tujuan ini pemerintah melalui Undang-Undang Jasa Konstruksi
(UUJK) No. 18 tahun 1999 hanya dapat mempengaruhi kebijakan dan
strategi pengembangan pada sisi demand
(hilir) melalui demand pekerjaan dan
persyaratan teknologi. Sedangkan pada sisi hulu (supply) tidak dikelola dan disentuh oleh UUJK sehingga struktur dan
perilaku pendukung penyelenggaraan konstruksi tersebut tidak kondusif dan
bersinergi. Oleh karena itu, mengacu pada persoalan tersebut maka isu utama dan
isu nasional yakni bagaimana kebijakan sisi hulu mempengaruhi penyelenggaraan
konstruksi nasional yang berada pada sisi demand
(PU, 2011).
Peraturan
Presiden No. 32 Tahun 2011, pemerintah
telah meluncurkan program MP3EI (Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2011 – 2025. Program sebagai
terobosan besar dan terstruktur untuk membenahi ketidakefisienan sistem
produksi pada sisi hulu (termasuk
produksi
MPK)
pada level makro/nasional
akibat faktor lokasi spasial. MP3EI dirumuskan berdasarkan 6
koridor pengembangan ekonomi (Koridor Ekonomi – KE: KE Sumatera, KE
Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE
Bali-Nusa Tenggara, dan KE Papua – Kep. Maluku) yang masing-masing
wilayahnya memiliki potensi dan keunggulan masing-masing (Kemenkoekonomi, 2011). Lebih lanjut, untuk mendukung perwujudan program
MP3EI, melalui Perpres No. 26 Tahun 2012 pemerintah meluncurkan Cetak
Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Dalam Sislognas telah
dirumuskan paradigma “ships promotes the
trade”, maka komoditas (barang) pokok dan komoditas strategis sebagai
penghela (drivers) dari seluruh
sistem logistik. Oleh karena itu, mengacu pada pengelompokan komoditas pokok
atau strategis dan terkait isu strategis penyelenggaraan konstruksi maka
ditetapkan komoditas pendukung utama penyelenggaraan konstruksi nasional berupa
material dan peralatan konstruksi (MPK) utama yakni semen, baja, aspal dan
peralatan konstruksi (PU, 2011 dan Perpres No. 26, 2012).
2. Pentingnya
Rumusan Material dan Peralatan Konstruksi pada Sektor Konstruksi Nasional
Berdasarkan rumusan komoditas utama MPK tersebut maka
diperlukan upaya-upaya strategis untuk mendukung penyelenggaraan konstruksi
nasional. Namun, selama ini Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen-PU) sendiri
sebagai penanggungjawab dan pengguna utama produk MPK belum memiliki data base kebutuhan ril penggunaan MPK
pada proyek-proyek yang dikerjakan (PU-BPS, 2011). Abduh (2012) menjelaskan bahwa data pada sisi
pasokan yang tersedia sangat terbatas dan data kebutuhan masih bersifat global
sehingga menjadi sulit untuk menentukan secara tegas berapa pasokan MPK yang
harus dipenuhi untuk investasi infrastruktur. Selama ini informasi penggunaan
MPK baru inisiasi Kemen-PU melalui analisa data final amandemen kontrak APBN
PU, padahal penggunaan produk MPK bukan saja Kemen-PU tetapi juga oleh seluruh
dinas PU di daerah dan kementerian terkait infrastruktur (PU-BPS, 2011). Informasi pasokan MPK selama ini
hanya diperoleh dari kapasitas produksi pabrik produsen MPK utama yakni pabrik
semen, baja, semen dan alat berat melalui publikasi Kementerian Perindustrian
dan produsen-produsen MPK. Proses penyelenggaraan penyediaan MPK tidak hanya
karena kurangnya informasi pasokan tetapi oleh kesenjangan penggunaan dan
penyebaran. Fakta
bahwa besarnya aktifitas ekonomi konstruksi suatu daerah selalu diikuti oleh
aktifitas pekerjaan konstruksi dan penggunaan produk MPK.
3. Distribusi
Aktifitas Sektor Konstruksi Pada Proses Pembangunan Nasional
Secara nasional, pada Tabel 1. disajikan pemetaan demand
distribusi penyelenggaraan konstruksi nasional berdasarkan letak geografis/spasial (KE) dan peta
penyebarannya pada Gambar 1. Potret ini dapat dimaknai bahwa penyebaran demand berupa distribusi PDB sektor konstruksi dan nilai
indikasi investasi sebagai indikator aktifitas ekonomi konstruksi dan jumlah
proyek sebagai indikator aktivitas fisik pekerjaan konstruksi. Penyebaran dan aktifitas konstruksi masih didominasi di
kawasan Indonesia bagian barat - KIB (Sumatera, Jawa dan Kalimantan)
dibandingkan Indonesia bagian timur - KIT (Sulawesi, Bali Nusra, Papua-Maluku).
Padahal dalam konteks negara kepulauan besar dengan pulau sekitar 17.504 buah
maka sangat memerlukan mobilitas penyediaan MPK untuk pemerataan penyelenggaraan
industri konstruksi nasional.
Pembagian Kawasan
|
Koridor Ekonomi
|
PDB Konstruksi
|
Nilai Indikasi Investasi
|
Jumlah Proyek
|
|||
Kawasan Indonesia bagian Barat (KIB)
|
Sumatera
|
83,58%
|
20,56%
|
73,49%
|
18%
|
67,61%
|
29,05%
|
Jawa
|
60,46%
|
32%
|
23,65%
|
||||
Kalimantan
|
2,56%
|
24%
|
14,91%
|
||||
Kawasan Indonesia bagian Timur (KIT)
|
Sulawesi
|
16,42%
|
7,42%
|
26,51%
|
8%
|
32,39%
|
11,57%
|
Bali-Nusa Tenggara
|
6,67%
|
3%
|
5,91%
|
||||
Papua-Kep. Maluku
|
2,33%
|
15%
|
14,91%
|
||||
Total 6 koridor
|
100,00%
|
100,00%
|
100,00%
|
Lebih lanjut, kesenjangan aktifitas ekonomi dan
pekerjaan konstruksi turut memunculkan gap
struktur usaha, struktur pasar dan penyerapan material konstruksi. Pada Tabel 1‑2. menunjukkan komposisi demand struktur usaha
konstruksi (Badan Usaha Konstruksi-BUK non kecil dan BUK kecil dan
mikro) masih didominasi oleh KIB atau KE Jawa dan Sumatera dibandingkan KIT.
Ketimpangan struktur usaha juga diikuti oleh ketimpangan struktur pasar
konstruksi atau nilai pekerjaan konstruksi yang diselesaikan (nikon) dan
ketimpangan pemenuhan pemakaian material konstruksi (PBBM) di antara
KIB dan KIT. Distribusi pemenuhan PBBM pada sisi demand sebagai indikasi awal pola pasokan MPK pada penyelenggaraan
konstruksi nasional, walaupun demikian indikasi ini belum menjadi nilai
akumulatif penggunaan MPK nasional.
Besarnya pasokan produk MPK tidak terlepas dari permintaan atas produk MPK yang tersedia dan besarnya kemampuan pasar serta BUK mengakses produk MPK tersebut. Tabel 2. diringkas dalam Gambar 1‑2. menunjukkan komposisi pasar konstruksi (nikon) dan komposisi struktur usaha konstruksi (jumlah BUK) didominasi oleh KE pada KIB dibandingkan KE pada KIT. Pada kondisi yang lebih ironis pada Gambar 1‑3. memuat ketimpangan struktur pasar (nikon) terhadap struktur usaha (komposisi BUK kecil-mikro dan non kecil). BUK non kecil yang hanya berjumlah 3% menguasai 65% pasar konstruksi (nikon) sedangkan 97% BUK kecil dan mikro memperebutkan 35% pasar konstruksi (nikon) yang ada. Selanjutnya pada Tabel 1‑3., besarnya akses terhadap bahan bangunan oleh BUK kecil dan mikro hanya 5,75%. Kondisi ini menggambarkan bahwa ketimpangan struktur pasar turut mempengaruhi struktur usaha kecil dan mikro untuk mengakses produk MPK yang terbatas.
Tabel 2. Distribusi Pasar Usaha, Badan Usaha Konstruksi dan
Akses Material Konstruksi Nasional (BPS, 2006a, 2006b)
Pembagian Kawasan
|
No
|
Kawasan Ekonomi
|
Badan Usaha Besar dan Menengah
|
Badan Usaha Kecil dan Mikro
|
||||
Jumlah BUK
|
Nikon
|
PBBM
|
Jumlah BUK
|
Nikon
|
PBBM
|
|||
Unit
|
(Juta Rupiah)
|
(Juta Rupiah)
|
(Unit)
|
(Juta Rupiah)
|
(Juta Rupiah)
|
|||
Kawasan Indonesia bagian Barat (KIB)
|
1
|
Pulau Sumatera
|
834
|
7.880.031
|
3.152.012
|
42.917
|
3.605.308
|
1.285.366
|
18%
|
25%
|
25%
|
27%
|
21%
|
21%
|
|||
2
|
Pulau Jawa
|
1.940
|
12.381.998
|
5.076.619
|
47.568
|
7.235.778
|
2.933.302
|
|
42%
|
39%
|
40%
|
30%
|
42%
|
47%
|
|||
3
|
Pulau Kalimantan
|
603
|
5.770.895
|
2.019.813
|
18.682
|
1.723.925
|
686.677
|
|
13%
|
18%
|
16%
|
12%
|
10%
|
11%
|
|||
Kawasan Indonesia bagian Timur (KIT)
|
4
|
Pulau Sulawesi
|
598
|
2.495.561
|
1.147.958
|
24.800
|
2.195.189
|
681.826
|
13%
|
8%
|
9%
|
16%
|
13%
|
11%
|
|||
5
|
Kep. Bali-Nusa Tenggara
|
361
|
1.273.995
|
573.298
|
19.748
|
1.309.988
|
416.624
|
|
8%
|
4%
|
4%
|
13%
|
8%
|
7%
|
|||
6
|
Kep. Maluku – Papua
|
273
|
2.241.866
|
874.328
|
3.666
|
1.070.533
|
231.195
|
|
6%
|
7%
|
7%
|
2%
|
6%
|
4%
|
|||
TOTAL (Nasional)
|
4.609
|
32.044.346
|
12.844.028
|
157.381
|
17.140.721
|
6.234.990
|
||
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
Banyaknya Usaha (BUK)
|
157.381
|
100,00%
|
|
Tidak Menjalin Kemitraan (Partnership)
|
135.832
|
86,30%
|
|
Menjalin Kemitraan (Partnership)
|
21.549
|
13,70%
|
|
Jenis Fasilitas yang Diterima
|
Pinjaman Uang / Barang Modal
|
6.300
|
4,00%
|
Pengadaan Bahan Baku
(akses material konstruksi)
|
9.052
|
5,75%
|
|
Pemasaran (marketing)
|
4.796
|
3,05%
|
|
Bimbingan Usaha
|
1.145
|
0,73%
|
|
Lainnya
|
2.892
|
1,84%
|
4. Peran
Logistik dalam Penyebaran Material dan Perlatan Konstruksi
Kesenjangan distribusi
penyediaan MPK sebagai bentuk dari lemahnya sistem mobilisasi atau perpindahan dari sisi
hulu ke hilir dalam
penyelenggaraan konstruksi. Mobilisasi atau perpindahan MPK melalui
konektivitas nasional dikenal secara populer disebut sebagai sistem logistik nasional. Paradigma
Sislognas bahwa komoditas MPK utama sebagai penghela (drivers) dari kegiatan logistik tetapi tidak didukung oleh kinerja
sistem logistik yang baik. Namun demikian kondisi sistem logistik nasional memiliki
kinerja buruk yang ditunjukkan oleh survei Indeks Kinerja Logistik yang rendah
oleh World Bank (2007). Indonesia berada pada
peringkat ke-43 dari 150 negara yang di survei, di bawah Singapura
(urutan ke-1), Malaysia (urutan ke-27) dan Thailand (urutan ke-31) (World Bank, 2007). Fakta ini
didukung oleh pergerakan barang termasuk MPK disajikan pada Gambar 1‑4. bahwa ciri pergerakan barang
didominasi (terkonsentrasi) pada pergerakan antara Sumatera–Jawa–Bali, dengan
sedikit variasi dengan wilayah lainnya (Kemenkoekonomi, 2011).
Pergerakan atau distribusi MPK yang hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu
saja maka menyebabkan konsentrasi logistik dan distribusi menjadi padat bahkan
cenderung tidak efisien, efektif dan konsentrasi aktifitas ekonomi konstruksi tidak
merata.
Rendahnya
kinerja logistik tidak hanya karena konsentrasi distribusi tetapi oleh World
Bank (2013) dijelaskan
karena biaya yang dikeluarkan pelaku usaha dalam mendistribusikan produk MPK di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan
dengan biaya logistik ke luar negeri. Fakta ini diperkuat pada penjabaran Tabel 4. dengan
komposisi biaya logistik terhadap PDB dan biaya penjualan yang paling tinggi
dan pada Gambar 5. disajikan waktu tunggu (dwelling time) dan waktu bongkar barang pada pelabuhan di Indonesia lebih lama
dibandingkan pelabuhan di beberapa negara.
Tabel 4. Perbandingan Biaya
Logistik Terhadap PDB dan Biaya Penjualan Pada Beberapa Negara (World Bank, 2013)
Negara
|
Persentase Biaya Logistik Terhadap
PDB
|
Persentase Biaya Logistik Terhadap
Biaya Penjualan
|
(%)
|
(%)
|
|
Amerika Serikat
|
9,9
|
9,4
|
Jepang
|
10,6
|
5,9
|
Korea Selatan
|
16,3
|
12,5
|
Indonesia
|
27
|
45
|
Kesenjangan distribusi kontraktor dan pekerjaan konstruksi yang tidak didukung oleh sistem logistik yang lancar telah menggangu proses penyediaan produk MPK oleh sistem logistik yang lancar. Hal ini juga dimaknai bahwa belum terpadunya aspek infrastruktur dan pengelolaan MPK dari sisi hulu hingga hilir dalam penyelenggaraan konstruksi nasional. Padahal proses integrasi suplai MPK dari hulu hingga hilir ditenggarai juga melintasi berbagai organisasi dan wadah/pranata kelembagaan yang berbeda-beda. Peranan kelembagaan yang menyelaraskan dan mengintegrasikan seluruh jaringan organisasi penyedia dan penyalur produk MPK nasional dari hulu hingga hilir ditemui masih bersifat parsial dan pembinaannya tersebar (Perpres No. 26 Tahun 2012). Proses penyediaan MPK pada penyelenggraan konstruksi nasional sesuai regulasi UUJK No. 18 tahun 1999 baru mengatur penyediaan produk MPK sebagai sumber daya konstruksi hingga pada tier ke-2 dan tier ke-1 (Gambar 6.). Sedangkan tier (5,4,3) bagian hulu diatur oleh regulasi dan kewenangan lain seperti:
- Kementerian Perdagangan mengatur aspek distribusi, pergudangan, dan pasar/tata niaga MPK.
- Kementerian Perindustrian mengatur aspek produksi manufaktur MPK.
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatur aspek penyediaan bahan baku atau bahan galian MPK.
- Kementerian Perhubungan mengatur aspek transportasi dan pengangkutan produk MPK.
- Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatur aspek pengelolaan infrastruktur dan penyedia jasa logistik.
Lebih lanjut, aspek
integrasi pengintegrasian tidak saja dilakukan pada kelembagaan institusi
tetapi pada penyelarasan berbagai produk regulasi/perundangan. Beberapa
undang-undang yang berpotensi tumpang tindih pada proses penyediaan produk MPK
berupa:
- Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Undang-Undang Jalan.
- Undang-Undang Pelayaran.
- Undang-Undang Penerbangan.
- Undang-Undang Pergudangan.
- Undang-Undang Perkeretaapian.
- Undang-Undang Kepabeanan.
- Undang-Undang Perposan/Jasa Titipan.
Mengacu
pada kondisi kelembagaan dan regulasi maka berbagai bidang yang memiliki
keterkaitan langsung dengan sistem logisitik penyelenggaraan MPK masih
memerlukan pembinaan dan penanganan yang masih parsial, tersebar dan belum
terintegrasi (Perpres No. 26
Tahun, 2012).
5.
Simpulan Sementara
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi
dan persoalan kesenjangan proses penyelenggaraan MPK dari hulu hingga hilir
maka perlu untuk mewujudkan sistem penyelenggaraan konstruksi yang tepat waktu,
tepat volume, tepat mutu, dan tepat biaya. Untuk itu diperlukan sebuah
konseptualisasi sebagai proses untuk merumuskan konsep yang dapat
mengintegrasikan dan mensinkronisasi proses penyediaan dan penyelengaraan MPK.
Sebuah konseptualisasi sistem rantai pasok (RP) penyelenggaraan MPK digunakan
untuk diperoleh rumusan penyelenggaraan konstruksi nasional yang efisien dan
efektif. RP merupakan konsepsi jejaring kegiatan organisasi produksi dan
distribusi produk yang bekerja sama untuk menyajikan produk hingga ke pengguna
akhir.
6.
Daftar
Pustaka
Abduh, M. (2012). Rantai Pasok Konstruksi
Indonesia. In Buku Konstruksi Indonesia 2012, Harmonisasi Rantai Pasok
Konstruksi: Konsep, Inovasi dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi.
BPS. (2006a). Sensus Ekonomi Tahun 2006: Perusahaan
Konstruksi Menengah dan Besar. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2006b). Sensus Ekonomi Tahun 2006: Perusahaan
Konstruksi Mikro dan Kecil. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2014). Data Sektor Konstruksi Biro Pusat Statistik.
Chiragi, F. V. (2000). Building Construction Industry in
Tanzania Case Study:Youth Sports Centres Complex at Mwananyamala, Dar-es-salaam.
Jurnal Building Construction Industry in Tanzania, 17.1-17.12.
Kemenkoekonomi. (2011). Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Perpres No. 26 Tahun 2012. Peraturan Presiden Republik
Indonesia tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (2012).
PU. (2011). PUSBINSDI-BP Konstruksi.
PU-BPS. (2011). Pengembangan Satelite Account Sektor
Konstruksi Tahun 2011. Jakarta: Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum Badan
Pusat Statistik.
Todaro, M. P., and Smith, S. C. (2003). Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga (Ed. Kedua). United Kingdom: Penerbit Erlangga.
Trigunarsah, B. (2006). Industri Konstruksi. In Konstruksi
Indonesia; Membangun Daya Saing Bangsa (p. 17). Jakarta: Badan Pembinaan
Konstruksi & Sumber Daya Manusia (PU).
UU_No_18_1999. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (1999).
World Bank. (2007). Connecting to Compete, Trade Logistics
in the Global Economy. Washington.
World Bank. (2013). State of Logistics Indonesia 2013.
Jakarta.