Pendahuluan
Pemerintah menyatakan industri jasa konstruksi dalam negeri masih menghadapi sejumlah masalah serius yang harus segera ditangani, mengingat era masyarakat ekonomi ASEAN sudah dimulai. Hl ini akan diikuti bahwa pasar konstruksi Indonesia akan menarik pengusaha jasa konstruksi asing datang ke Indonesia. Hal ini wajar terjadi mengingat Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di Asean, yang memberikan kontribusi lebih dari 67% terhadap pasar konstruksi Asean (Bisnis.com).
Indonesia sebagai negara berkembang sedang membutuhkan membutuhkan banyak infrastruktur dan properti untuk menggencot percepatan pembangunan. Kontraktor sebagai pelaku usaha dan pemain utama (focal firm) pada sektor konstruksi nasional dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan daya saing dalam penyelenggaraan konstruksi. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan berdaya saing. Ditambah lagi pertanyaan apakah perilaku (conduct) dalam industri konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut dalam menciptakan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan menengah secara kondusif. LPJKN (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional) mencatat beberapa kendala dan tantangan pelaku jasa konstruksi nasional dalam menghadapi persaingan lokal, nasional bahkan regional.
1. Ketimpangan Komposisi Jumlah Perusahaan Kontraktor
a. Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi.
Secara hipotetik, 85% nilai pasar
konstruksi dikuasai oleh kontraktor non
kecil dengan jumlah13% dari total 182.800 badan
usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh
kontraktor kecil dengan jumlah
87% dari total
182.800 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar
konstruksi dengan nilai kecil menjadi
tidak sehat dan terdistorsi (Tamin, 2012). Struktur industri konstruksi
nasional didominasi oleh
pelaku usaha konstruksi berbagai skala yang memiliki sifat umum. Spesialisasi usaha
jasa konstruksi masih belum berkembang
dan spesialisasi dipandang
akan mempersempit peluang usaha.
b. Struktur usaha yang kokoh, andal, dan berdaya saing belum terbentuk.
Jumlah kontraktor lebih
dari 150.000 dan
hampir 70%-80% berada di Jawa. Kemitraan antara badan usaha
besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara sinergis, saling menguntungkan dan
resiprokal. Disamping itu,
jumlah kontraktor kecil lebih
banyak bersifat umum;
jumlah kontraktor swasta
dan daerah kecil; jumlah
kontraktor spesialis hampir
tidak ada (Tamin, 2012). Struktur
industri konstruksi terfragmentasi
sehingga banyak transaksi dan banyak kontrak. Dengan demikian,
biaya transaksi tinggi
sering terjadi. Seharusnya terdiferensiasi menjadi
generalis dan spedialis
bila diarahkan dapat terbangun
dengan struktur yang seimbang (Soeparto, 2012).
c. Stigmatisasi dalam industri konstruksi adalah (Soeparto, 2012)
- Mengesankan menjadi tempat permainan kotor,
- Dimanfaatkan untuk meminta jatah,
- Persaingan sangat keras dapat cenderung berbahaya,
- Lebih berdasar ketrampilan dari pada pengetahuan,
- Banyak Pekerjaan dilakukan dilapangan,
- Biaya murah dan nilai tambah rendah;
- Cara berhubungan yang cenderung memicu conflict/bersifat adversarial;
- Terfragmentasi, terpecah pecah dan berasal dari banyak latar belakang berbeda dan
- Entry barrier rendah dan persaingan berdasarkan harga murah. Secara umum kondisi tersebut menjadikan industri konstruksi kurang efisien, kurang produktif, kurang innovatif.
2. Kualitas dan Produktifitas Perusahaan Kontraktor Rendah
a. Kualitas pekerjaan kontraktor masih rendah yang ditandai oleh konstruksi cepat rusak, kecelakaan konstruksi tinggi, kegagalan konstruksi dan bangunan mulai terjadi.
Selain itu,
produktifitas kontraktor rendah,
daya saing lemah, kalah bersaing dengan kontraktor asing
yang beroperasi di Indonesia, sedikit
yang berhasil masuk pasar global, tidak
responsif terhadap permintaan tinggi
tenaga kerja konstruksi regional, tidak
ada kontraktor tenaga kerja konstruksi
(Labor Contractor) dan
lapangan usaha terbatas
dan belum berkembang (KBLI) (Tamin, 2012).
b. Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas.
Permasalahan ini
dipicu oleh keterbatasan
kompetensi SDM, akses permodalan
dan kemampuan peralatan/
teknologi. Disamping itu, permasalah spesifik pelaku usaha di
sektor konstruksi adalah adanya “lack of true
competition”, “lack of good governance”. Selanjutnya,
kebijakan subcontracting tidak
dikembangkan secara khusus.
Pengawasan, pemihakan pelaku
usaha kecil, spesialis, dan daerah
kurang dilakukan secara sistematis. BUMN
tidak mendapat mandat
khusus pembinaan pelaku
usaha kecil dan spesialis.Kebijakan pembinaan
terhadap usaha kecil
belum intensif seperti bantuan pendanaan,
pelatihan SDM dan
manajemen serta pengembangan inovasi teknologi
dan penyediaan sistem
asuransi dan jaminan
yang kompetitif.
3. Kemitraan (Partnership) Saling Menguntungkan Antar Kontraktor Belum Terbentuk
a. Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif.
Pelaku usaha
jasa konstruksi dengan
berbagai skala usaha
belum saling berkooperasi dan
berkolaborasi dalam suatu
model kemitraan yang
saling menguntungkan (win-win
partnership). Kontraktor skala
kecil belum mendapatkan posisi
yang kuat dalam
sistem subkontrak dengan
perusahaan besar. Disamping itu,
kontraktor kecil mengalami
banyak hambatan mendapatkan pekerjaan
subkontrak dari kontraktor
besar. Pada prakteknya, hambatan tersebut antara lain
adanya hubungan KKN (Kenal Konco Nyantol Proyek); Kemampuan subkontraktor baik dari segi SDM, peralatan maupun permodalan;
kebiasaan kewajiban membayar bayar fee
proyek terlebih dulu yang
berkisar 8% dari
nilai proyek dan
full finance tanpa uang muka serta
harus bersedia dibayar apabila pekerjaan sudah selesai 100%. Disamping itu, kontraktor
kecil juga kesulitan mendapatkan dukungan modal dari perbankan dan menghadapi
pembayaran yang sering
molor sangat lama
atau bahkan tidak sesuai
perjanjian dan terkadang
tidak dibayar. Kontraktor kecil
juga sangat susah mendapatkan kepercayaan dari main kontraktor (Gendroyono,
2012). Secara umum,
permasalahan usaha skala
kecil menengah Indonesia adalah (i) akses pasar, (ii) SDM,
(iii) manajemen, (iv) akses permodalan, (v) dan
IT & production
technology (Bank BRI,
2012). Resiko pembiayaan untuk sektor konstruksi adalah (i)
performance kontraktor tidak sesuai standar sehingga pelaksanaan
kontrak terganggu dan
pembayaran tagihan oiw
bouwheer ke rekening kontraktor bank pemberi kredit mengalami delay dan
atau dibelokan ke bank lain (Bank BRI, 2012).
b. Keterbatasan kesempatan usaha bagi kontraktor skala kecil.
Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi
dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah
serta ekploitasi subkontraktor. Kontraktor besar dinilai belum ikut serta
memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil lokal dimana
pekerjaan konstruksi berada.Penggolongan usaha
yang kurang tepat, dan batasan
pasar yang tidak mendukung sehingga mempersempit peluang usaha perusahan kecil
maka kesempatan mereka hanya menjadi
subkontraktor, sehingga diperlukan pengaturan segmentasi pasar yang sehat.
Peraturan perundangan sebenarnya cukup melindungi subkontraktor, namun sayang
karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku, maka timbullah banyak
permasalahan-permasalahan dalam subkontrak (Gendroyono, 2012).
4. Kelembagaan Pembinaan dan Pengembangan
Peran pembinaan pemerintah belum efektif dan kurang tegas dinyatakan siapa yang mewakili pemerintah.
Disamping itu, koordinasi yang
lemah antara stakeholders dan saling mengharapkan antara pemerintah
dan LPJKN/D.Peran LPJKN/D
terbatas dan kemampuan
pendanaan yang terbatas. Disamping
itu, lembaga ini tidak sepenuhnya
mendapat dukungan pendanaan dari
pemerintah. Dalam kondisi
keterbatasan tersebut,
konsentrasi peran masih sebatas sertifikasi dan registrasi badan usaha, tenaga
ahli dan
tenaga terampil. Sistem dan
tatakelola proses sertifikasi masih
diwarnai oleh conflict of
interest. Namun demikian, sudah ada sedikit harapan kemajuan dalam
penelitian dan pengembangan.
Lembaga sudah mulaimendorong
pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan. Disamping itu, inisiatif pengaturan
penilai ahli, arbitrase, dan mediasi,
serta peningkatan partisipasi
masyarakat sudah ada (Tamin, 2012).
5. Kelemahan Rantai Pasok Konstruksi
- Kompetisi antar rantai pasok yang dimiliki oleh kontraktor belum terjadi di Indonesia.
Kondisi ini terjadi karena (i)
Kompetisi semu, (ii) Tidak menjadi sebuah
keharusan dari owner,
(iii) Hubungan antar rantai pasok
yang ada belum berjangka
panjang, (iv) dan
Tidak ada loyalitas
dalam rantai pasok. Disamping itu,
perbedaan hubungan antara
tahap lelang dan
tahap pelaksanaan juga sering
terjadi disebabkan oleh
kontraktor belum memiliki rantai pasok
yang loyal dan
stabil, aturan memaksa
untuk tidak dapat mencantumkan keseluruhan rantai pasok,
tidak ada keharusan dari owner dan pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan
rantai pasok, dan hubungan yang tidak
berjangka panjang dalam
rantai pasok.
- Lokalisasi kontraktor dalam arti kontraktor lokal melakukan pekerjaan untuk pekerjaan lokal tidak terjadi di Indonesia.
Kondisi ini disebabkan oleh
intervensi kontraktor nasional, kontraktor lokal
tidak terbina dan terjadi vertical
integration yang dilakukan oleh BUMN, meskipun kontraktor BUMN
memiliki alasan profesionalitas yang
valid pula dalam
hal ini, sulit mendapatkan mitra
kerja local yang
memenuhi standar kualitas.
Beberapa pemerintah daerah telah
menggunakan aksi afirmatif
dengan memaksa kontraktor BUMN
bermitra dengan lebih
dari satu kontraktor
local untuk pekerjaan konstruksi
yang bernilai besar.
Namun tetap isyu
profesionalitas masih ada, sehingga
perlu tambahan biaya
untuk mengakomodasi aksi afirmatif ini bagi kontraktor BUMN
(Abduh, 2012).
6. Kontraktor “Selon” dan Keterbatasan Kompetensi
Pengalaman praktikal pada
pengadaan pekerjaan konstruksi
oleh nonpemerintah menunjukkan
adanya perikatan kesepakatan
para kontraktor secara terselubung
dan kemudian cenderung
berusaha mempengaruhi
/mengatur proses tender.
Disamping itu, di
lapangan juga muncul
adanya kontraktor “selon” yang artinya seseorang yang bisa mempunyai 1001
perusahaan konstraktor dengan
berbagai keahlian. Tender
terbuka akan membuka peluang
kontraktor “selon” untuk
mengikuti dan mengatur
mitra yang lain dan justru tidak
profesional. Kenyataan juga menunjukkan
bahwa klien non-pemerintah juga
mengalami permasalahan mutu
pekerjaan kontraktor. Kecuali kontraktor besar dan bernama, masih banyak
kontraktor yang belum memenuhi
standard mutu dan
belum handal dan
efektif dalam pengendalian waktu
dan klien merasa bagaikan membeli kucing dalam karung.Permasalahan tersebut
selalu menimbulkan effort tambahan bagi tim tender untuk menyelesaikan
hal non teknis
bila hal tersebut
muncul. Kontraktor kecil masih banyak yang tidak bisa memenuhi target biaya, mutu dan waktu yang
direncanakan (Karya, 2012).
7. Ketimpangan Kompetensi & Perlindungan SDM Konstruksi
- Industri konstruksi pada 2011 diperkirakan memiliki 6.34 jt tenaga kerja konstruksi dengan komposisi 60% merupakan unskill labour (3,8 jt), 30% merupakan skill labour (1,9 jt) dan 10% merupakan tenaga ahli (634 rb) dengan kondisi kurang dari 7% yang telah tersertifikasi (Suhono, 2012).
- Investasi SDM (recruitment) yang keliru baik di kontraktor maupun di konsultan akibat cara-cara procurement yang tidak tepat maupun demi kelangsungan hidup.
- Pengakuan, penghargaan dan perlindungan kompetensi SDM di sektor konstruksi yang masih terbatas baik disebabkan belum adanya undang-undang profesi keinsinyuran dan kearsitekturan, ketimpangan billing rate dan belum adanya asuransi profesi (indemnity professional insurance).
- Disamping itu, profesionalisme, etika dan hukum serta body of knowledge sertifikasi sdm belum ditegakkan, belum berjalan dan banyak yang belum mengenal Contiuning Professional Development (CPD) (Mulyo, 2012).
- Koordinasi terkait pengembangan kompetensi SDM di sektor konstruksi mencakup antara lain koordinasi antar dan inter lembaga pelatihan belum terbentuk; Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) baru saja disepakati melalui PP Nomor 8 tahun 2012; Dualisme sistem sertifikasi profesi (BNSP & LPKJN); keterbatasan anggaran pemerintah; belum optimalnya standard kompetensi, penyelenggaraan pelatihan dan uji bagi SDM konstruksi; keterbatasan sarana dan prasarana pelatihan; dan belum berkembangnya sistem informasi pembinaan kompetensi dan pelatihan konstruksi. Disamping itu, implementasi sertifikasi profesi masih terdistorsi.
- Sertifikasi profesi dilakukan belum secara sistematis dan benar-benar obyektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI. Sertitifikasi profesi belum merupakan solusi penjaminan profesionalisme praktek profesi keinsinyuran dan kearsitekturan tetapi masih menjadi bagian dari transaction cost economy yang tinggi serta hanya menjadi kebutuhan administratif bukan kebutuhan profesinalisme individu praktek profesi. Sertifikasi profesi masih menjadi sumber pengumpulan dana asosiasi dan belum menjadi kebutuhan individu (Suhono & Suraji, 2012).
8. Distorsi pada Pengadaan dan Kontrak Konstruksi Pemerintah
a. Etika usaha di sektor konstruksi masih belum terinternalisasi secara menyeluruh.
Permasalah etika
pada pengadaan dan
pelaksanaan kontrak kontrak pemerintah
adalah Peminjaman User
ID, Peminjaman nama perusahaan, Sub-kontrak
di luar kendali,
Penggunaan produk sub-standar, Pekerjaan dibawah
standar atau spek
teknis, dan Pemalsuan
progres fisik. Disamping itu,
kekurang pahaman terhadap peraturan perundangan misalnya Pemahaman terhadap
Peraturan pengadaan, Pemahaman
terhadap dokumen lelang, Pemahaman
terhadap konsep ketentuan-ketentun kontrak
termasuk persyaratan
administrasi, kualifikasi dan
teknis serta penawaran harga
juga mempengaruhi distorsi pengadaan dan pelaksanaan kontrak (LKPP,
2012).
b.Penyimpangan proses pemilihan penyedia jasa sering terjadi misalnya (LKPP, 2012)
- Terbukti melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan;
- Mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/PPK/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Dokumen Pengadaan dan/atau HPS yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat;
- Melakukan persekongkolan dengan Penyedia lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan, sehingga mengurangi/ menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
- Membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
- Mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
- Membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
- Mengundurkan diri pada masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
- Menolak untuk menaikkan nilai jaminan pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80 % HPS;
- Mengundurkan diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan pada saat pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat diterima dalam pengadaan barang/pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya;
- Mengundurkan diri/tidak hadir bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat klarifikasi dan negosiasi teknis dan biaya dengan alasan yang tidak dapat diterima dalam pengadaan jasa konsultansi;
- Memalsukan data tentang TKDN;
- Mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat penunjukan Penyedia dengan alasan yang tidak dapat diterima;
- Mengundurkan diri dari pelaksanaan penandatanganan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh PPK.
f. Pelanggaran pada pelaksanaan kontrak mencakup antara lain (LKPP, 2012).
- Terbukti merakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
- Menolak menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan;
- Mempengaruhi PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Melakukan perbuatan lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak oleh PPK;
- Meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak secara tidak bertanggungjawab;
- Memutuskan kontrak secara sepihak karena kesalahan Penyedia;
- Tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi audit pihak yang berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara, dan
- Melakukan pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan.
Kesimpulan
Berbagai tantangan yang dihadapi industri konstruksi
nasional diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Berbagai persoalan sektor konstruksi dapat menjadi peta/map bagi pelaku sektor konstruksi untuk sejak dini memetaan/mapping persoalan-persoalan tersebut sehingga menjadi arah bagi pemangku kebijakan jasa konstruksi disetiap daerah di Indonesia.
- Pemerintah dapat membangun Good “ Construction” Governance melalui industri konstruksi berdasarkan ketimpangan/problematika yang terjadi di lapangan sebagai prasyarat membangun tata kelola struktur industri konstruksi nasional.
- Tantangan/problematika industri konstruksi dapat sebagai identifikasi dini untuk dirumuskan sebagai kebijakan afirmatif/memihak untuk memicu perkuatan struktur industri konstruksi.
- Pemerintah dan masyarakat serta pelaku jasa konstruksi dapat memahami begitu pentingnya mencegah etika (trust, reciptrocity dan sinergi) dalam industri konstruksi untuk mempererat struktur industri konstruksi nasional melalui kemitraan.
Sumber
- LPJKN. (2012). Potition Paper “Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) “ Jakarta. Editor Suraji, A. & Pribadi, K. S.
- Soeparto, H. G. (2007). Strategi Pengembangan Industri Konstruksi Melalui Analisis Produktifitas Dan Pengaruh Lingkungan Usaha : Sebuah Pendekatan Meso Ekonomi Agregatif. Disertasi - Doktor. Jakarta: Universitas Indonesia.
- Budiwibowo, A. (2005). Cluster Konstruksi Indonesia, Thesis S2. Jakarta: Universitas Indonesia. Fakultas Teknik.
- Buku Konstruksi Indonesia 2010, 2012, 2013, 2014, 2015. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi
- KPPU. (2012). Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Industri Jasa Konstruksi (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
- Pusbin_SDI. (2010b). Roadmap Pembinaan Sumberdaya Investasi Infrastruktur. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruks