Antara Peluang dan Tantangan Subcontracting Pada Pola Kemitraan Untuk Mendukung Daya Saing Sektor Jasa Konstruksi Nasional

Disampaikan pada Lomba Konstruksi Nasional Kementerian PUPR tahun 2014

Abstrak
   Postur kontraktor (180.000 unit usaha) dan konsultan (6.600 unit usaha)  atau hampir 90 % masih dikuasai oleh badan usaha kecil daripada badan usaha besar dan menengah. Padahal menurut Suraji dan Pribadi (2012), 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh unit usaha kecil dan sisanya 85% dikuasai oleh unit usaha besar. Pasar jasa konstruksi nasional dikuasai 60 % oleh badan usaha asing, dominasi ini hanya dihuni oleh 10 % saja. Sehingga pelaku jasa konstruksi yang jumlahnya 90 % hanya menikmati 40 % dari total potensi pasar. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi pasar konstruksi yang dikuasai oleh badan usaha besar dan sebagian besar oleh badan usaha asing. Tentunya dapat dibayangkan besarnya jumlah modal yang akan lari keluar negeri, sehingga akan menambah lemahnya daya saing bangsa dan menjadi tamu di negeri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan yang pro/memihak terhadap kemaslahatan masyarakat jasa konstruksi yang banyak dihuni oleh badan usaha kecil dan terlebih lagi untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebuah kebijakan berupa perkuatan sistem kolaborasi antara badan usaha besar dan kecil ditawarkan berupa perkuatan sistem subletting, subcontracting dan partnership. Sistem ini merupakan strategi peningkatan kemampuan badan usaha kecil dan menengah untuk berperan serta dalam pasar konstruksi nasional 
Berdasarkan strategi penawaran sistem perkuatan tersebut, maka pada penulisan karya tulis ini menyajikan analisis empiris (justifikasi) tentang betapa sistem ini sangat penting untuk memperkuat pondasi sektor konstruksi dalam perekonomian bangsa sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil terhadap analisis kondisi eksisting atas pentingnya penerapan subcontracting yaitu : (i) Fakta ketimpangan kapitalisasi/pasar konstruksi dapat diseimbangkan dengan penerapan kebijakan kemitraan/partnering melalui perikatan kontrak legal subcontracting; (ii) Keberpihakan kebijakan terhadap badan usaha non kecil/besar yang diisi oleh sebagian besar badan usaha asing dalam menguasai pasar konstruksi akan mendorong keluarnya arus kapital dari dalam negara sehingga akan melemahkan kontribusi sektor konstruksi pada perekonomian nasional; (iii) Penguatan sistem rantai pasok industri konstruksi melalui skenario subcontracting pada seluruh aliran rantai dan dengan memanfaatkan peluang penerapan sistem partnering akan menunjang peran serta badan usaha kecil dalam merebut pasar konstruksi nasional; (iv) Realitas kelemahan pola kemitraan subkontraktor dapat diminimalisir melalui pengelolaan dan pengaturan kebijakan yang memihak (afirmatif) terhadap eksistensi badan usaha kecil sebagai bagian dari industri konstruksi nasional. (v) Potensi pasar konstruksi yang terus meningkat tidak diimbangi oleh peningkatan pasar konstruksi badan usaha kecil sehingga menimbulkan gap porsi perolehan kapitalisasi konstruksi. (vi) Potensi penerapan kebijakan subcontracting melalui badan usaha kecil akan berpotensi meningkatkan penyerapan tenaga kerja konstruksi dan peningkatan nilai tambah sektor konstruksi pada perekonomian nasional. (vii) Akumulasi penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah melalui pendapatan sektor konstruksi dalam GDP konstruksi dan nasional akan meningkatkan daya saing nasional. Sedangkan beberapa usulan dan saran kebijakan yang dianggap perlu yakni (i) Kebijakan pro-partnering. Perlunya mewajibkan badan usaha non kecil (nasional dan asing) bermitra dengan badan usaha kecil pada setiap pekerjaan konstruksi, penguatan penguasaan administrasi kontrak dan perikatan subkontrak (subcontracting) sebagai instrumen kepastian hukum antar pihak. (ii) Perlunya pemberian insentif dan afirmatif sehingga mampu meningkatkan kapasitas badan usahanya; (iii) Perkuatan rantai pasok perlu memisahkan antara pembinaan dari pengelolaan proyek. Perkuatan sistem tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan CSR untuk pembinaan dari kontraktor besar kepada kontraktor kecil menengah spesialis sebagai bagian dari keluarga rantai suplainya. Pembinaan terhadap spesialisasi dari rantai pasok ini harus di dahului dengan penerapan good governance.


 1. Pendahuluan
           
        Sektor konstruksi berperan penting dan sentral dalam pembangunan ekonomi suatu negara melalui produksi dan pembentukan lingkungan terbangun (built environment). Bentuk lingkungan terbangun berupa infrastruktur, bangunan komersial, bangunan industri dan perumahan. Dalam menentukan besarnya jumlah lingkungan terbangun atau produk konstruksi maka dapat dilihat dari aspek kesetimbangan supply dan demand dari sektor konstruksi yang sudah ada. Kesetimbangan pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) barang dan jasa konstruksi diperlukan untuk memperkirakan besaran kapasitas industri konstruksi pada suatu industri konstruksi termasuk di Indonesia. Pada negara yang sudah maju (developed country) pada umumnya telah menyajikan kapasitas industri tersebut, namun berbeda halnya dengan pada negara sedang berkembang seperti Indonesia. Tetapi pada sisi pasokan, data yang tersedia sangat terbatas dan tidak akurat sehingga tidak dapat dengan tegas ditetapkan untuk mendukung kapasitas industri konstruksi nasional. Pada sisi kebutuhan (demand), Tabel 1. menunjukkan bahwa pasar konstruksi terbesar merupakan gabungan anggaran pemerintah dari APBN dan APBD dan disusul oleh sumber lainnya. Sumber data ini masih menyajikan data global dan belum dapat diolah oleh pemakai barang dan jasa konstruksi secara tegas. Ketidakjelasan informasi pasar konstruksi ini akan menyebabkan konsentrasi pasar menjadi tidak merata, dan hanya dapat diakses oleh sekelompok badan usaha tertentu hingga pada akhirnya akan mengurangi persaingan yang sehat diantara pemasok. Sedangkan pada sisi pasokan (supply), pada Gambar 1. menunjukkan postur kontraktor (180.000 unit usaha) dan konsultan (6.600 unit usaha)  atau hampir 90 % masih dikuasai oleh badan usaha kecil daripada badan usaha besar dan menengah. Padahal menurut Suraji dan Pribadi (2012), 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh unit usaha kecil dan sisanya 85% dikuasai oleh unit usaha besar. Kondisi ini menurut Radhi (2012) menyebabkan beberapa implikasi: (i) persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi, (ii) kesulitan memasuki pasar (barrier to entry), dan (iii) pangsa pasar (market share) dikuasai oleh pihak tertentu.

Tabel 1. Perkiraan pasar Konstruksi Nasional Tahun 2013 (Pusbin SDI.net)
No
Sumber Dana
Dilelang
(Juta Rp)
Rencana Penyerapan
(Juta Rp)
1
APBN PU
146.704.267,00
93.140.183,00
2
APBN non PU
62.856.952,00
32.964.866,00
3
APBD
38.910.853,00
39.583.080,00
4
BUMN
108.885.168,00
94.344.631,00
5
BUMD
108.915,00
370.460,00
6
PMDN
59.176.058,00
21.963.880,00
7
PMA
15.456.000,00
3.761.200,00
8
Gabungan
48.051.810,00
24.675.557,00

Total
580.150.023,00
310.803.857,00





Gambar 1. Badan Usaha Konstruksi Teregistrasi Nasional Tahun 2012 (LPJKN)

    Menurut Kepala Badan Pembina Konstruksi Hediyanto, bahwa pasar konstruksi di Indonesia mengalami distorsi oleh karena persaingan semu sehingga terjadi brokerage atau rent seeking serta munculnya kontraktor semu (shadow players) akibat transaksi politik. (Koran Jakarta, 2013). Lebih lanjut beliau menuturkan “"Tidak hanya itu, pada pasar konstruksi kita menghindari terjadi persaingan mencekik leher (cut throat competition) dan penawaran tidak logis. Distorsi pasar konstruksi akan menyebabkan biaya transaksi ekonomi tinggi dan merendahkan daya saing." Secara strukturalpun, konsentrasi usaha di sektor konstruksi masih didominasi oleh kontraktor generalis bercirikan kontraktor dengan banyak bidang usaha, sangat sedikit spesialis dan banyak muncul kontraktor yang kurang atau tidak profesional atau bahkan "semu".

    Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, menurut menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto bahwa pasar jasa konstruksi nasional dikuasai 60 % oleh badan usaha asing, dominasi ini hanya dihuni oleh 10 % saja. Sehingga pelaku jasa konstruksi yang jumlahnya 90 % hanya menikmati 40 % dari total potensi pasar. Data Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan jika total kapitalisasi pasar konstruksi Indonesia 2009 mencapai Rp170 triliun. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi pasar konstruksi yang dikuasai oleh badan usaha besar dan sebagian besar oleh badan usaha asing. Tentunya dapat dibayangkan besarnya jumlah modal yang akan lari keluar negeri, sehingga akan menambah lemahnya daya saing bangsa dan menjadi tamu di negeri sendiri (republika.co.id, 2010).
Berdasarkan beberapa pertimbangan antara lainnya potensi pasar yang besar, dominasi badan usaha besar dan asing, serta masih sedikitnya badan usaha kecil dan domestik. Maka potensi pasar konstruksi yang dimasuki oleh badan usaha kecil dan domestik masih sangat kecil sedangkan jumlahnya sangat banyak, sehingga dapat dipastikan bahwa secara akumulasi kontribusi sektor konstruksi akan tidak mencukupi untuk mendukung daya saing bangsa melalui industri konstruksi.

        Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2010 merilis pentingnya penerapan sistem rantai pasok dalam mendukung industri konstruksi nasional yang mandiri. Sistem rantai pasok (supply chain) (SRP) adalah sistem yang mencakup pelaku, pemasok, pembuat, transportasi, distributor, vendor, dan penjamin yang diciptakan untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk dan memasok produk tersebut kepada pengguna sesuai nilai yang diminta (Vrijhoef, 1998). Oleh karena itu, penguasaan rantai pasok harus mencakup seluruh pihak yang terlibat dalam mensuplai sumber daya mulai dari hulu hingga hilir rantai kegiatan. Padahal menurut Abduh (2012) permasalahan yang dihadapi sebagai berikut: (i) rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif, (ii) belum adanya kompetisi antara rantai pasok yang ditandai dengan kompetisi yang semu dan tidak berjangka panjang, (iii)terdapat perbedaan hubungan antara tahap pelelangan dan pelaksanaan, (iv) lokalisasi kontraktor.

         Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan yang pro/memihak terhadap kemaslahatan masyarakat jasa konstruksi yang banyak dihuni oleh badan usaha kecil dan terlebih lagi untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebuah kebijakan berupa perkuatan sistem kolaborasi antara badan usaha besar dan kecil ditawarkan berupa perkuatan sistem subletting, subcontracting dan partnership. Sistem ini merupakan strategi peningkatan kemampuan badan usaha kecil dan menengah untuk berperan serta dalam pasar konstruksi nasional.

    Berdasarkan strategi penawaran sistem perkuatan tersebut, maka pada penulisan karya tulis ini menyajikan analisis empiris (justifikasi) tentang betapa sistem ini sangat penting untuk memperkuat pondasi sektor konstruksi dalam perekonomian bangsa sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa.

    Tulisan ini menggunakan data longitudinal dari BPS dan LPJK serta beberapa sumber terkait. Batasan yang digunakan berada pada lingkup nasional atau industri konstruksi nasional, sehingga data yang digunakan berupa data industri konstruksi yakni pendapatan bruto (nilai konstruksi yang diselesaikan), pengeluaran (intermediate input) (Nilai pekerjaan yang subkontrakkan), sedangkan nilai data tambahan berupa badan usaha konstruksi. Data sekunder yang digunakan tersebut akan dilengkapi dilengkapi oleh data primer dengan wawancara pada beberapa ekspert terbatas (LPJKN, Kemen-PU, tenaga ahli).

2.    Penerapan Subcontracting

    Pengelolaan manajemen konstruksi yang kurang tepat dapat diminimalisasi melalui penggunaan rantai sumber daya konstruksi yakni subkontraktor. Subkontraktor merupakan kontraktor spesialisasi yang mengerjakan pekerjaan konstruksi tertentu, terkadang berfungsi sebagai agen dari sistem produksi perusahaan konstruksi untuk menyuplai material, tenaga kerja, peralatan, suku cadang bahkan desain Matthew dan Kumaraswamy, 2000). Subkontraktor adalah perusahaan konstruksi yang melakukan kontrak dengan kontraktor utama untuk melakukan beberapa item pekerjaan tertentu, bentuk kontrak yang dilakukan (subcontracting) akan terpisah dengan kontrak utama dan akan diselesaikan sebelum masa kontrak utama selesai. Sehingga subcontracting merupakan suatu perikatan kontrak atau legalitas dari sebuah kerjasama pengerjaan proyek konstruksi. Pada umumnya subcontracting dilakukan oleh kontraktor utama dengan menyerahkan pekerjaan minor atau khusus kepada subkontraktor, kecenderungan ini akan terus dilakukan bersamaan dengan semakin besarnya nilai dan volume pekerjaan utama.

    Klasifikasi subcontracting dibedakan atas beberapa jenis, di Hong Kong menurut Ng, et al., (2008) diklasifikasikan atas (i) subcontracting peralatan secara intensif (karena memiliki peralatan dan suku cadang khusus), dan (ii) subcontracting padat karya (memperkerjakan tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus dan tersedia melimpah). Namun oleh  et al., (2001) menyatakan jika hanya subcontracting tenaga kerja saja yang dapat menguntungkan secara finansial bagi kontraktor.
Di Indonesia, regulasi subcontracting diatur dalam pasal 87 Ayat (3) Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan Kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis”.

    Namun dalam Perpres tersebut, yang dimaksud “pekerjaan utama” dan “bukan pekerjaan utama” tidak ada keterangan apapun. Sehingga sering terjadi multitafsir karena pekerjaan utama ditafsirkan sebagai item pelaksanaan pekerjaan konstruksi sehingga belum jelas yang dimaksud dengan istilah “penyedia barang/jasa spesialis”. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi tentang pengaturan pelaksanaan pekerjaan kontrak kerja konstruksi diatur dalam pasal 22 Ayat 2. Dan memuat uraian para pihak, rumusan pekerjaan, masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan penyedia jasa, tenaga ahli, hak dan kewajiban, cara pembayaran, cidera janji, penyelesaian perselisihan, pemutusan kontrak kerja konstruksi, keadaan memaksa (force majeure), kegagalan bangunan, perlindungan pekerja, dan aspek lingkungan. Lebih lanjut pada Ayat 7 hanya memuat tentang “subpenyedia jasa”.

    Selanjutnya, dalam UU Jasa Kontruksi tidak mengenal istilah pekerjaan utama. tetapi mengenal “penyedia jasa” dan “subpenyedia jasa” dan dijelaskan dan diatur dalam Pasal 24. Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing-masing tahapan pekerjaan konstruksi).

3.    Peluang Penerapan Subcontracting

    Dalam laporan Latham dan Egan (1998) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya proyek konstruksi telah mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan dan rendahnya produktifitas. Laporan ini menyarankan untuk segera dilakukannya perubahan dalam industri konstruksi dan melakukan gebrakan untuk mengurangi persoalan biaya, waktu dan kesalahan. Salah satu sarannya perlu dilakukan integrasi dalam penyajian proses konstruksi melalui partnering (kemitraan) dan strategi membangun kemitraan di dalam industri konstruksi. Bentuk nyata dari usaha ini adalah dengan melakukan subcontracting yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kinerja (Dainty et al., 2001; Hartmann dan Caerteling, 2010)

    Peluang penerapan kemitraan dan subcontracting untuk meningkatkan kinerja sektor konstruksi melalui partnering tidak terlepas dari penerapan sistem rantai pasok (SRP) yang diadopsi dari sektor manufaktur (Christopher, 1998). Walau demikian beberapa modifikasi disesuaikan dengan konteks industri konstruksi yang memiliki sifat temporal, fragmentasi, kompleks dan satu produk pada setiap produksi (Vrijhoef, 1998 dan London, 2008). Peranan penerapan SRP dalam industri konstruksi akan menguatkan posisi seluruh rantai pemasok atau supplier material dan peralatan konstruksi yang terlibat (Wood dan Ellis, 2005). Penguatan inilah yang akan diikat di dalam ikatan legalitas yakni subcontracting diantara pemasok atau subkontraktor dengan kontraktor utama.
Dalam skala produktifitas ekonomis suatu proyek, penerapan spesialisasi melalui subcontracting dapat menjadikan suatu pekerjaan konstruksi menjadi lebih ekonomis. Pekerjaan yang di luar kemampuan kontraktor utama dan membutuhkan sumber daya yang besar dan mahal maka dapat diserahkan pada spesialisasi/subkontraktor. Sehingga pelibatan tersebut dapat ditempuh dengan penguatan koordinasi diantara pihak yang melakukan kontrak pada lokasi dan konstruksi yang sama (Yik dan Lai, 2006).

    Menghadapi kompetitif dan dinamisnya bisnis konstruksi maka perusahaan konstruksi akan dipaksa untuk selalu beradaptasi terhadap keadaan yang kompleks dan penyesuaian struktur organisasi (Gunnarson dan Raymond, 1982). Lebih lanjut, lokasi yang selalu berpindah dan berbeda, semakin menguatkan jika spesialisasi/subkontraktor dibutuhkan untuk menangani pekerjaan khusus sehingga dapat mendukung kontraktor utama (Eccles, 1981 dan Dioguardi, 1983). Kehadiran pola kemitraan melalui partnering dapat pula menjadi solusi untuk meningkatkan kinerja proses konstruksi sehingga menciptakan sinergi dan efektifitas diantara pemasok sumber daya konstruksi dan diperoleh hubungan berjangka panjang (Barlow, et al., 1997).

    Secara konvensional, kontraktor utama tidak terlalu melibatkan dirinya pada pekerjaan fisik utama untuk mengawasi kinerja dari subkontraktornya. Hal ini menurut Hsieh (1997)  didasari oleh (i) untuk pencapaian skala ekonomi dalam menghadapi kondisi bisnis yang dinamis (recessions and  booms), (ii) untuk membagi resiko yang mungkin akan diperoleh kepada pihak lainnya yakni subkontraktornya. Sedangkan oleh Karim, et al., (2006) dan Choudhry, et al., (2012) menyatakan jika resiko tersebut dapat berupa cacat (defect) yang akan terjadi selama pekerjaan dan mengurangi waktu dan biaya.

    Oleh karenanya, tidaklah ekonomis bagi sebuah perusahaan kontraktor utama/besar untuk tetap menjadi spesialisasi dengan mempertahankan sejumlah besar tenaga kerja dan peralatannya dalam satu atau beberapa pekerjaan spesialisasi. Meminimalisasi pekerja atau mengurangi adalah langkah bijak bagi belanja perusahaan untuk tidak membebani belanja modalnya. Pada saat yang bersamaan, subkontraktor dapat dijadikan sarana untuk melakukan kontrol biaya dan berbagi resiko kepada pihak lain. Namun yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukannya yakni dengan melakukan survei terhadap pekerjaan atau tanggungjawab yang akan dialihkan dan memahami benar kondisi subkontraktor sebelum menuangkan kerjasama tersebut pada klausa perjanjian (subcontracting).

    Kondisi-kondisi di atas mengambarkan betapa pentingnya subcontracting dalam kondisi project delivery atau pelaksanaan proyek konstruksi. Sehingga dapat menjadi peluang bagi pemerintah atau stakeholder untuk menerapkan kebijakan subcontracting dalam industri konstruksi suatu bangsa untuk meningkatkan daya saingnya.

4.    Tantangan Penerapan Subcontracting, Subletting dan Partnering

    Walau dalam pelaksanaannya banyak dirasakan manfaat dari pola partnering berupa perikatan subcontracting, terdapat pula beberapa hal kondisi yang dapat menjadi persoalan apabila tidak dikelola dengan baik. Konsekuensi yang paling mungkin muncul adalah dengan timbulnya ketegangan (strain) dan hubungan yang kurang cair (adversarial) diantara kontraktor dan subkontraktor (Hinze dan Tracey, 1994; Dainty et al., 2001)

    Penggunaan subkontraktor tenaga kerja secara lebih lanjut dapat memunculkan kekompleksitasan proses pelaksanaan konstruksi karena akan diikuti berbagai lapisan rantai (tiers) subkontraktor pada satu kondisi lingkungan proyek (O’Brien dan Fischer, 1993). Selanjutnya fragmentasi dari proses penyajian proyek konstruksi akan menghambat proses integrasi penuh dari komponen yang banyak melibatkan subkontraktor pada proses produksinya. Ditambah lagi dengan semakin kompleksnya proyek akan menyebabkan over suplai yang akan mengakibatkan penurunan output konstruksi (Matthew dan Kumaraswamy, 2000).

    Pada sisi kontraktor utama, pemilihan subkontraktor sangat rentan terhadap kekeliruan karena bagaikan memilih kucing dalam karung, yaitu subkontraktor sangat sulit dinilai kinerjanya. Perusahaan subkontraktor sangat rentan terhadap fluktuasi pasar dan kondisi ekonomi yang ekstrim sehingga mengakibatkan prevalensinya terhadap kebangkrutan dan penerapan praktek bisnis yang buruk (Schaufelberger, 2003).

    Selanjutnya, pengikatan subcontracting melalui pemilihan subkontraktor melalui penawaran harga termurah tidak selalu menggaransi akan menghasilkan biaya konstruksi yang akan murah. Oleh karenanya masih diperlukan waktu dan tenaga ekstra bagi manager proyek untuk benar-benar memproses penawaran sehingga menghasilkan subkontraktor yang berkualitas, finansial yang kuat dan jadwalnya memadai (Fisher, 1997).

    Di Indonesia, kebijakan penerapan subkontraktor masih ditemukan kendala menurut Suraji dan Pribadi (2012) yaitu adanya praktek KKN (Kenal Konco Nyantol Proyek), kemampuan SDM, peralatan maupun permodalan subkontraktor masih rendah,; kebiasaan kewajiban membayar fee proyek terlebih dulu yang berkisar 8% dari nilai proyek dan full finance tanpa uang muka serta harus bersedia dibayar apabila pekerjaan sudah selesai 100%, kontraktor kecil juga kesulitan mendapatkan dukungan modal dari perbankan dan menghadapi pembayaran yang sering molor sangat lama atau bahkan tidak sesuai perjanjian dan terkadang tidak dibayar.

    Pada level kebijakan, penerapan sistem subcontracting tidaklah mudah untuk diterapkan, sangat dibutuhkan keinginan yang kuat dari stakeholder untuk dapat dilaksanakan. Komposisi subkontraktor yang berjumlah besar secara nasional seharusnya menjadi potensi yang terbuka untuk digarap.  Potensi yang disajikan pada Gambar 1 seharusnya dapat ditangkap oleh pembuat kebijakan untuk merealisasikan distribusi yang seimbang dan berkeadilan bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Pemerintah harusnya memiliki political will/keinginan yang kuat untuk merealisasikan tujuan tersebut dan secara bargaining lebih diuntungkan.

5.    Analisa Pentingnya Penerapan Subcontracting Untuk Mendukung Daya Saing Industri Konstruksi.

    Walaupun data pekerjaan yang disubkontrakkan sulit untuk disajikan, namun data secara nasional yang disajikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) akan di gunakan untuk dianalisis pada tulisan kali ini (BPS, 2012a). Rentang waktu kajian dipilih sejak tahun 2000 hingga 2012, alasan pemilihan karena sejak krisis moneter pada tahun 1998, kondisi industri konstruksi nasional relatif stabil setelah tahun 2000.

    Pada tahun 2012 telah terdaftar lebih dari 180.000 badan usaha pelaksana konstruksi dan sekitar 6.600 perusahaan konsultan di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Data mutakhir badan usaha konsultan dan kontraktor konstruksi yang teregistrasi secara nasional tahun 2012 menunjukkan bahwa perusahaan kontraktor memiliki postur kualifikasi 1% besar, 11 % menengah dan 88% kecil, sedangkan postur kualifikasi perusahaan konsultan adalah 7% besar, 4% menengah dan 89% kecil.

Tabel 2. Nilai Konstruksi Pekerjaan, Perusahaan Konstruksi dan Nilai Subkontrak

Sumber (BPS, 2012b)



Gambar 2. Distribusi Nilai Konstruksi Pekerjaan, Perusahaan Konstruksi dan Nilai Subkontrak

    Pada Tabel 2 dan Gambar 2 menunjukkan jika nilai pengeluaran sektor konstruksi berupa nilai pekerjaan konstruksi yang selesai dikerjakan terus naik sejak tahun 2000 dengan pertumbuhan rata-rata 16,52 %. Sedangkan nilai pekerjaan yang disubkontrakkan memiliki nilai yang fluktuatif dan apabila dibandingkan dengan nilai konstruksi yang diselesaikan hanya memiliki rata-rata 3,43 % saja. Nilai ini berada jauh dibandingkan dengan idealisasi yang diharapkan oleh pemerintah sebesar 20 %.
Apabila dengan asumsi bahwa nilai pekerjaan konstruksi yang diselesaikan sebagai nilai pasar (kapitalisasi) konstruksi nasional dan asumsi badan usaha konstruksi dengan komposisi seperti pada Tabel 1 yakni 85 % pasar konstruksi dikuasai oleh badan usaha non kecil dan sisanya oleh badan usaha kecil. Sedangkan komposisi badan usaha non kecil (besar dan menengah) menguasai 13 % dan sisanya merupakan badan usaha kecil (87 %). Pada akhirnya akan diperoleh nilai pekerjaan atau pasar konstruksi badan usaha kecil.

    Hasil perbandingan proporsi pasar/kapitalisasi konstruksi antara badan usaha non kecil dan kecil cukup tinggi yakni dengan rasio 37,93 atau 38. Nilai ini berarti jika pasar konstruksi pada satu tahun anggaran atau tahun berjalan badan usaha non kecil memperoleh pasar konstruksi sebanyak 38 kalinya badan usaha kecil. Nilai ini tentunya merupakan gap yang sangat besar dan tidaklah ideal untuk menunjang kompetisi yang sehat.

6.    Pasar Konstruksi dan Daya Saing Sektor Konstruksi

    Nilai pengeluaran sektor konstruksi yang ditandai oleh besaran nilai konstruksi yang diselesaikan pada setiap tahun mengalami terus penambahan. Penambahan ini ternyata tidak diikuti oleh penambahan yang signifikan dari nilai pekerjaan yang dikerjakan badan usaha kecil dan bahkan cenderung tetap. Potensi pasar yang apabila badan usaha kecil dilibatkan secara konsisten dalam pola kemitraan yakni subkontraktor akan turut memberi pengaruh pada sektor konstruksi secara khusus dan sektor ekonomi secara umum. Menurut Ive dan Gruneberg (2000) Efek yang ditimbulkan dapat mengakibatkan efek pengganda atau multiplier effect pada rantai yang ada di dalam sistem ekonomi nasional.

    Perkuatan subkontraktor melalui kebijakan subcontracting dapat menjadi solusi untuk mengangkat jumlah badan usaha untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi tenaga kerja. Banyak tenaga kerja yang terserap akan memperkuat daya beli masyarakat sehingga meningkatkan produktifitas perekonomian bangsa. Selain peningkatan jumlah tenaga kerja, input lain pun akan bertambah yakni material, peralatan dan layanan jasa keuangan sedangkan nilai tambah pun akan diperoleh melalui upah gaji atau balas jasa atas pekerjaan yang dilakukan.

    Besaran nilai upah balas jasa yang dihasilkan selama setahun merupakan nilai tambah sektor konstruksi dalam suatu sistem perekonomian nasional. Keseluruhan nilai tambah ini akan diakumulasikan sehingga akan menghasilkan GDP nasional pada sektor konstruksi. Semakin tinggi nilai tambah sektor ini melalui pola kemitraan (subkontraktor) maka akan meningkatkan kontribusi GDP sektor konstruksi. Peranan sektor konstruksi tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari sektor konstruksi saja tetapi dapat menjadi input antara bagi sektor lain dalam penyediaan infrastruktur dasar untuk meningkatkan nilai tambah bagi sektor lain seperti sektor pertanian, pertambangan, kesehatan.

    Kenaikan kontribusi sektor konstruksi sebagai input utama dan input antara akan meningkatkan nilai GDP secara keseluruhan atau nasional. Perubahan peningkatan GDP nasional yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi akan menjadi indikator akan kinerja perekonomian suatu bangsa. Todaro dan Smith (2003) dan WEF (2010) menyebut jika tingkat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa mengindikasikan kuatnya daya saing bangsa tersebut. Sedangkan Porter (1990) melihat konteks daya saing dari produktifitas dari tenaga kerja suatu bangsa. Sehingga peningkatan tenaga kerja konstruksi melalui kontrak konstruksi subcontracting yang meningkat dapat secara tegas dipastikan akan meningkatkan daya saing suatu bangsa.

7.    Pembahasan

    Peluang penerapan pola kemitraan melalui subcontracting sangatlah berpotensi untuk memposisikan industri konstruksi dalam berperan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia. Kebijakan penerapan subkontraktor dapat menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan dalam sebuah industri konstruksi. Ketimpangan pasar konstruksi oleh karena ketidakseimbangan porsi badan usaha kecil yang memperoleh pasar konstruksi berimplikasi pada persaingan usaha yang tidak sehat dan terdistorsi, kesulitan memasuki pasar dan pasar dikuasai oleh pihak tertentu. Fakta penguasaan sebagian besar pasar konstruksi oleh badan usaha besar dan ditambah lagi komposisi badan usaha besar sebagian besar diisi oleh badan usaha asing maka akan semakin menambah porsi aliran kapitalisasi yang akan mengalir keluar dan tidak terserap di dalam negara.

    Penerapan sistem rantai pasok konstruksi (SRPK) pada industri konstruksi nasional oleh Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2010 menjadi peluang untuk dapat mengembangkan badan usaha kecil melalui subkontraktor dengan skenario subcontracting. Peran subcontracting telah dibuktikan dalam proses project delivery atau penyajian proyek konstruksi sebagai solusi untuk meningkatkan kinerja proyek berupa penyuplai material konstruksi, tenaga kerja dan peralatan. Penguatan seluruh posisi seluruh rantai pasok melalui ikatan legalitas subcontracting dapat memperkuat pencapaian skala ekonomis yang stabil karena penguatan rantai pasok dan berjalannya pembagian resiko berupa kerugian biaya, cacat kehilangan waktu kepada pihak lain.
  
    Peluang penerapan sistem subcontracting tidak hanya menguntungkan bagi sebuah industri konstruksi namun terdapat pula beberapa tantangan yang harus dihadapi apabila tidak dikelola dengan baik. Karena melibatkan beberapa pihak (lapisan rantai/tiers) dalam pola kemitraan maka akan selalu muncul ketegangan dan hubungan yang adversarial diantara pihak yang melakukan kontrak. Penggunaan subcontracting yang semakin banyak seiring dengan semakin besar dan kompleksnya proyek akan membuat pemilihan subkon menjadi rentan karena bagaikan memilih kucing didalam karung. Pada sisi subkon sendiri, posisi perusahaan yang kecil membuat perusahaan sangat rentan terhadap gejolak pasar dan kondisi ekonomi yang ekstrim, selanjutnya akan menjadi rentan terhadap kebangkrutan dan terjerumus pada praktek bisnis yang buruk.

    Realitas pentingnya penerapan subcontracting melalui subkontraktor dapat dilihat dari besarnya potensi kapitalisasi pasar konstruksi yang cukup besar di Indonesia. Pertumbuhan nilai pekerjaan konstruksi yang diselesaikan setiap tahun terus bertumbuh sedangkan nilai subkontraktor yang digarap oleh industri konstruksi masih sangat rendah dan hanya berkisar pada 3 – 5 % saja. Porsi yang rendah pada pasar konstruksi bagi pelaku usaha kecil di Indonesia dengan rasio 38, menunjukkan bahwa gap ini sebagai ketimpangan yang dapat menurunkan kinerja industri konstruksi secara nasional.

    Keterkaitan pasar konstruksi yang ideal akan berhubungan langsung dengan daya saing suatu bangsa dalam perekonomian dunia. Pasar konstruksi yang ideal dengan penyertaan badan usaha kecil melalui subcontracting, tentunya akan meningkatkan nilai tambah sektor konstruksi dengan cara penyerapan tenaga kerja lebih banyak dan diikuti pendapatan yang meningkat. Peningkatan nilai tambah konstruksi akan terakumulasi melalui GDP sektor konstruksi dan GDP nasional. Pada akhirnya indikator tingkat penyerapan tenaga kerja dan GDP akan menjadi pertanda bahwa sektor konstruksi menjadi penyumbang daya saing suatu negara.

8.    Kesimpulan

    Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan atas analisis potensi penerapan kontrak konstruksi pada subkontraktor (subcontracting) adalah sebagai berikut:
  • Fakta ketimpangan kapitalisasi/pasar konstruksi dapat diseimbangkan dengan penerapan kebijakan kemitraan/partnering melalui perikatan kontrak legal subcontracting.
  • Keberpihakan kebijakan terhadap badan usaha non kecil/besar yang diisi oleh sebagian besar badan usaha asing dalam menguasai pasar konstruksi akan mendorong keluarnya arus kapital dari dalam negara sehingga akan melemahkan kontribusi sektor konstruksi pada perekonomian nasional.
  • Penguatan sistem rantai pasok industri konstruksi melalui skenario subcontracting pada seluruh aliran rantai dan dengan memanfaatkan peluang penerapan sistem partnering akan menunjang peran serta badan usaha kecil dalam merebut pasar konstruksi nasional.
  • Realitas kelemahan pola kemitraan subkontraktor dapat diminimalisir melalui pengelolaan dan pengaturan kebijakan yang memihak (afirmatif) terhadap eksistensi badan usaha kecil sebagai bagian dari industri konstruksi nasional.
  • Potensi pasar konstruksi yang terus meningkat tidak diimbangi oleh peningkatan pasar konstruksi badan usaha kecil sehingga menimbulkan gap porsi perolehan kapitalisasi konstruksi.
  • Potensi penerapan kebijakan subcontracting melalui badan usaha kecil akan berpotensi meningkatkan penyerapan tenaga kerja konstruksi dan peningkatan nilai tambah sektor konstruksi pada perekonomian nasional.
  • Akumulasi penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah melalui pendapatan sektor konstruksi dalam GDP konstruksi dan nasional akan meningkatkan daya saing nasional.
9.    Usulan dan Saran

    Berdasarkan uraian di atas maka aka disajikan beberapa saran kebijakan atas kondisi eksisting yang ada selama ini (Suraji dan Pribadi, 2012):
  • Pelaku usaha jasa konstruksi dengan berbagai skala usaha berusaha saling berkooperasi dan berkolaborasi dalam suatu model kemitraan yang saling menguntungkan (win-win  partnership).
  • Kebijakan pro-partnering. Perlunya mewajibkan badan usaha non kecil (nasional dan asing) bermitra dengan badan usaha kecil pada setiap pekerjaan konstruksi, penguatan penguasaan administrasi kontrak dan perikatan subkontrak (subcontracting) sebagai instrumen kepastian hukum antar pihak.
  • Perlunya pengaturan sub klasifikasi dan sub kualifikasi dalam rangka mendorong spesialisasi usaha dan meningkatkan kapasitas manajemen badan usaha kecil.
  • Perlunya pengembangan sistem dan pendampingan teknis bagi peralihan dari badan usaha kecil dan menengah menjadi perusahaan kontraktor kecil menengah spesialis.
  • Perlunya pemberian insentif dan afirmatif sehingga mampu meningkatkan kapasitas badan usahanya.
  • Kebijakan perkuatan kapasitas badan usaha kecil dapat mempertimbangkan beberapa kondisi yakni :
    1. Diperlukan suatu survei detail kapasitas dan kualifikasi kontraktor perlu dilakukan berdasarkan azas nyata dan objektif,
    2. Keseimbangan agar perusahaan konstruksi yang besar semakin besar dan yang kecil dan menengah juga berkembang,
    3. Pengertian local content untuk pekerjaan konstruksi di daerah bisa diartikan sebagai persyaratan partisipasi kontraktor di daerah,
    4. Etos kerja, kapasitas, kompetensi dan daya saing kontraktor di daerah masih belum sebanding dengan kontraktor nasional dan asing,
    5. Penghilangan persyaratan besaran 20% pekerjaan harus disubkontrakkan pada pengadaan pemerintah,
    6. Terlalu mudah memberi perijinan pada kontraktor baru dan
    7. Kesepahaman pembatasan jumlah  kontraktor yang sehat secara nasional maksimal 30.000 baik kecil, menengah dan besar.
  • Perkuatan rantai pasok perlu memisahkan antara pembinaan dari pengelolaan proyek. Perkuatan sistem tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan CSR untuk pembinaan dari kontraktor besar kepada kontraktor kecil menengah spesialis sebagai bagian dari keluarga rantai suplainya. Pembinaan terhadap spesialisasi dari rantai pasok ini harus di dahului dengan penerapan good governance.
10.    Daftar Referensi

Abduh, M. (2012). Rantai Pasok Konstruksi Indonesia. In Buku Konstruksi Indonesia 2012, Harmonisasi Rantai Pasok Konstruksi: Konsep, Inovasi dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi.
Barlow, J., Cohen, M., Jashapara, A., & Simpson, Y. (1997). Partnering: Revealing the realities in the construction industry, Policy Press. Bristol, U.K.
BPS. (2012a). Indikator Konstruksi Tahunan. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. (2012b). Data Runtut Statistik Konstruksi Tahun 1990 - 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Choudhry, R., Hinze, J., Arshad, M., and Gabriel, H. (2012). Subcontracting Practices in the Construction Industry of Pakistan. Constr. Eng. Manage, 138(12), 1353–1359.
Christopher, M. (1998). Logistics And Supply Chain Management.
Costantino, N., Pietroforte, R., & Hamill, P. (2001). Subcontracting in commercial and residential construction: an empirical investigation. Construction Management and Economics, 19(439-447).
Dainty, A. R. J., Briscoe, G. H., & Millett, S. J. (2001). Subcontractor Perspectives on Supply Chain Alliances. Construction Management and Economics, 19(8), 841–848.
Dioguardi, G. (1983). Macrofirms: Construction Firms for the Computer Age. Construction Management & Economics, 109(1), 13–24.
Eccles, R. G. (1981). The quasifirm in the construction industry. Journal of Economic Behavior & Organization, 2(4), 335–357.
Fisher, E. L. (1997). Improving the building process : How to select quality subcontractors, 1997.
Gunnarson, S. & R. E. L. (1982). Is a Building Construction Project a Hierarchy or a Market? In Proceedings of 7th INTERNET Congres.
Hartmann, A., & Caerteling, J. (2010). Subcontractor procurement in construction: the interplay of price and trust. Supply Chain Management: An International Journal, 15(5), 354–362. doi:10.1108/13598541011068288
Hinze, J. & Tracey, A. (1994). The contractor-subcontractor relationship: the subcontractor’s view. Journal of Construction Engineering and Management - ASCE, 120(2), 274–287.
Hsieh, T. (1997). The economic implications of subcontracting practice on building prefabrication. Automation in construction, 6, 163–174. Retrieved from http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0926580597000010
Ive, G.J, & Gruneberg, S. L. (2000). The Economic of the Modern Construction Firm. London UK: MacMillan Press LTD.
Karim, K., Marosszeky, M., & Davis, S. (2006). Managing Subcontractor Supply Chain for Quality in Construction. Engineering, Construction and Architectural Management, 13(1), 27–42.
Koran_Jakarta. (2013). Jasa Konstruksi Membutuh Penataan Ulang Badan Usaha Konstruksi Lokal: Memacu Daya Saing Kontraktor. EKONOMI BISNIS | Ekonomi Makro. Retrieved September 22, 2013, from http://m.koran-jakarta.com/?id=125392&mode_beritadetail=1
London, K. (2008). Construction Supply Chain Economics. Madison Ave, New York: Taylor & Francis Group.
Matthew, J. & Kumaraswamy, M. M. (2000). Improved subcontractor selection employing partnering principles. Journal of Management in Engineering, ASCE, 16, 47–57.
Ng, T., Tang, Z., & Palaneeswaran, E. (2008). Factors contributing to the success of equipment-intensive subcontractors in construction. International Journal of Project Management.
O’Brien, W. J., & Fischer, M. A. (1993). Construction supply-chain management: a research framework. In Proceedings of CIVIL-COMP-’93, Information Technology for Civil and Structural Engineers, The Third International Conference on the Application of Artificial Intelligence to Civil and Structural Engineers, Edinburgh, Scotland, August 17-19 (pp. 61–64).
Perpres_54_Tahun_2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2010).
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction. New York - USA: The Free Press.
Radhi, F. (2012). Structure, Conduct, Performance Pasar Jasa Konstruksi Nasional. Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi, Kementerian Pekerjaan Umum. Retrieved from http://pusbinsdi.net/main.php?page=data&type=1
republika.co.id. (2010). Jasa Konstruksi Nasional 60 Persen Dikuasai Asing. Ekonomi Makro. Retrieved September 22, 2013, from http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/10/16/140617-jasa-konstruksi-nasional-60-persen-dikuasai-asing
Schaufelberger, J. (2003). Causes of Subcontractor Business Failure and Strategies to Prevent Failure. In Proceedings: construction research congress, winds of change: integration and innovation in construction, March 19–21. Honolulu, Hawaii (pp. 1–7).
Suraji, A. & Pribadi, K. S. (2012). Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Jakarta. Retrieved from lpjk.net/download/Updated_Konsep_Consolidated_Position_Paper.pdf
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Edisis Ked.). United Kingdom: Penerbit Erlangga.
UU_No_18_1999. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (1999).
Vrijhoef, R. (1998). Co-makership in Construction-Towards Construction Supply Chain Management, Tesis. Delft: Delft University of Technology.
WEF. (2010). The Global Competitiveness Report 2010–2011. Geneva, Switzerland. Retrieved from www.weforum.org
Wood, G. D., & Ellis, R. C. T. (2005). Main contractor experiences of partnering relationships on UK construction projects. Construction Management & Economics, 23(3), 317–325.
Yik, F., & Lai, J. (2006). Problems with specialist subcontracting in the construction industry. … Engineering Research and …, 3, 183–194. Retrieved from http://bse.sagepub.com/content/27/3/183.short


11.    Lampiran
Tabel 3a. Analisa Kondisi Nilai Konstruksi Pekerjaan yang Disubkontrakkan



Tabel 4b. Analisa Kondisi Nilai Konstruksi Pekerjaan yang Disubkontrakkan



Gambar 3. Distribusi Nilai Pasar Konstruksi Pekerjaan Industri Konstruksi Nasiona, Bdan Usaha Kecil dan Non Kecil.


Gambar 4. Profil Jumlah Badan Usaha Konstruksi di Indonesia


Gambar 5. Proporsi Pasar Konstruksi Badan Usaha Konstruksi di Indonesia


Gambar 6. Nilai Pasar Konstruksi dan Persentase Nilai Pekerjaan yang Disubkontrakkan




Keterangan
Tulisan ini pernah menjadi juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Konstruksi Indonesia 2013 Kementerian Pekerjaan Umum (Badan Pembina Konstruksi)











Postingan populer dari blog ini

Tata Kelola Pengukuran Stunting menggunakan e-PPGBM dan SSGI