Oleh. Adi Pandarangga
Berita Media Konstruksi (24/3-2015) beberapa saat yang lalu menyajikan berita tentang dugaan praktek monopoli tentang transparansi proses lelang atau pengadaan pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi. Pada hari sesudahnya (25/3-2015) memuat transparansi pemasukan 14 paket tambahan pada proses pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Beberapa peristiwa diatas sebagai contoh praktek transparansi dalam sebuah industri. Praktek transparansi merupakan tema yang masih asing pada dunia konstruksi nasional.
Transparansi merupakan kata yang populer saat ini di Indonesia, baik ditingkat pusat hingga di daerah, tuntutan penyelenggaraan pembangunan yang transparan terus didenggungkan oleh masyarakat sebagai pengguna sekaligus konsumen produk konstruksi. Beberapa institusi pemerintah berdebat keras sangat tentang persepsi dan aplikasi transparansi. Saat ini transparansi bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan dalam tata pemerintahan negara ini. Proses kultur dan etika telah menguatkan perilaku untuk menjaga kerahasiaan tata nilai yang ada dan berimbas pada tata kelola pemerintah. Bahkan Gubernur DKI Ahok dan DPRD terus berseteru akibat persoalan transparansi dalam penyusunan APBD.
Pada sektor konstruksi, transparansi masih menjadi tema yang umum dan luas untuk diartikan. Bank Dunia melalui lembaga nirlaba (COST)...... menginisiasi partisipasi negara-negara berkembang untuk mengatasi persoalan terkait keterbukaan kontrak proyek pada publik. Inisiasi ini didukung dengan bantuan teknis dan finansial pada beberapa negara terpilih untuk meningkatkan jumlah dan informasi kontrak secara terbuka.
Point menarik dalam uji coba ini bahwa ada antusiesme kerja sama antara kontraktor lokal, masyarakat sipil dan pemerintah lokal untuk mengikuti COST. Transparansi dimulai dari tahap pembiayaan hingga tahapan pengambilan keputusan dan memberi akses bagi publik untuk megendalikan/menekan pengambil keputusan melaporkan. Transparansi merupakan satu bentuk tututan masyarakat global sebagai kontrak sosial yang baru antara sektor publik, industri dan masyarakat sipil bersama akuntabilitas dan partisipasi. Untuk menguraikan lebih jauh bagaimana semangat transparansi dapat mendukung keberhasilan peneyelenggaraan konstruksi di NTT, akan kami ulas secara singkat dan praktis bentuk penerapan konsep transparansi.
Santos (2010) memberi definisi transparansi pada sektor konstruksi sebagai proses bagi organisasi konstruksi untuk mengkomunikasikan segala proses produksi dan jasa konstruksi kepada publik atau masyarakat sebagai pengguna akhir produk konstruksi. Transparansi pada sektor konstruksi merupakan adaptasi terhadap prinsip proses-proses yang ada di industri manufaktur. Proses produksi pada industri manufaktur telah mencapai kematangan (maturity) yang dapat dijadikan panduan (benchmark) oleh sektor konstruksi untuk memperoleh kinerja yang lebih baik. Pada kenyataannya, sektor konstruksi sendiri masih sangat jauh dari apa yang diharapkan seperti manufaktur, baik di dunia barat maupun di Indonesia.
Di Indonesia, khususnya NTT proses atau sistem konstruksi masih sangat sederhana, sebagai negara berkembang proses konstruksi masih bersifat tradisional. Proses konstruksi yang cukup populer dan masih hangat bagi pengiat konstruksi di NTT yakni proyek padat karya (labour intensive), sebagai metode pelaksanaan yang melibatkan banyak pekerja atau warga untuk terlibat langsung pada proses konstruksi. Pada saat ini, cara kerja seperti ini telah ditinggalkan karena alasan produktifitas yag rendah dan proyek konstruksi lebih banyak mengacu pada proyek padat modal. Namun demikian, proses konstruksi sebagai proses untuk mengkonversi input sumber daya konstruksi menjadi bangunan terbangun belum sepenuhnya dikomunikasikan. Komunikasi yang terjadi pada proses konstruksi biasanya terjadai pada proses akhir, dimana produk atau jasa konstruksi diserahterimakan (PHO/FHO).
Pada pemahaman manajemen operasional, konstruksi dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang menekankan aliran operasional (manusia & mesin) dan aliran proses (informasi & material). Pada proses ini diharapkan untuk membawa nila (value) kepada pengguna akhir atau masyarakat. Nilai ini dalam bentuk bangunan, jalan, irigasi yang memiliki nilai penggunaan bagi aktifitas ekonomi masyarakat.
Penyebab terjadinya sektor konstruksi tidak transparan
Sudah bukan rahasia lagi kalau sektor konstruksi memiliki kelemahan yang sudah kronis dan mengakar. Kelemahan yang umum ditemui berupa pemborosan biaya dan biaya (cost & time overrun) serta sektor yang paling banyak menghasilkan waste (material atau sampah). Waste sendiri agak sulit dicari terjemahannya di dalam bahasa Indonesia karena waste bukan saja berarti sampah atau material tidk terpakai tetapi dapat pula dalam bentuk yang abstrak seperti waste gerakan (motion). Selain itu, sektor konstruksi juga memiliki ciri fragmentasi atau proses yang terpisah-pisah, desain terpisah dengan pelaksanaan, bersifat temporal, artinya proses konstruksi hanya terjadi sekali saja untuk menghasilkan satu produk (tidak seperti manufaktur yang berulang). Sifat lain yang juga penting yakni bersifat kompleks artinya sektor konstruksi banyak melibatkan sumber daya yang beragam (pemasok, kontraktor, pemerintah/DPRD, asosiasi) dalam satu kali produksi konstruksi.
Dengan karakteristik tersebut, sektor konstruksi sangat potensial untuk luput dalam mengkomunikasikan seluruh proses terjadinya produk konstruksi. Temporal dan kompleksnya sektor ini dapat mengurangi peran koordinasi dan kontrol dari proyek konstruksi yang dijalankan oleh pemerintah. Pada kajian di Afrika Selatan oleh Ambe (2012) menemukan bahwa organisasi pemerintah yang memiliki regulasi dan kebijakan yang berbeda-beda dan belum sepenuhnya melakukan sinkronisasi untuk melakukan segala bentuk komunikasi proses konstruksi.
Proses transparansi di NTT
Proses komunikasi pada proyek konstruksi di Indonesia khususnya di NTT menurut pemahaman penulis masih terjadi secara ad-hoc (tidak terorganisir). Komunikasi sebagai bagian dari proses transparansi terjadi karena adanya riak-riak atau peristiwa sensasional. Sehingga dapat dibayangkan apabila kondisi ini dihadapi bersama dengan pihak diluar pelaku usaha jasa konstruksi/ proyek yang memiliki pemahaman tidak sama maka proses komunikasi akan menjadi kompleks dan cenderung saling menyalahkan. Aliran operasional dan proses pada proyek pemerintah yang melibatkan organisasi yang berbeda (Dinas dan DPRD) perlu dibangun melalui kesepahaman melalui format yang diandasi oleh pemahaman proses konstruksi dan nilai kelokalan. Bentuk transparansi yang paling umum dilakukan yakni menyediakan aksesibilitas informasi bagi seluruh proses konstruksi. Dengan berkembangnya teknologi informasi melalui media sosial dapat menjadi pendorong bagi para pihak untuk memulai usaha transparansi. Pada akhirnya, bahwa tanggungjawab penggelolaan konstruksi sebagai bentuk pelimpahan wewenang oleh masyarakat atau konsumen perlu diapresiasi melalui komunikasi seluruh proses konstruksi sebagai bentuk transparansi.