Studi Pemetaan Potensi dan Antisipasi Tindak Fraud Dalam Proyek Kostruksi
Abstract
Abstrak
PENDAHULUAN
II. Literatur Review
II.1 Pendahuluan
Peningkatan investasi dan dana pekerjaan konstruksi dari tahun ke tahun membuat kemen-terian pekerjaan umum terus melakukan tugas pengawasan/pengawalan pembangunan infrastruktur PU melalui peningkatan fungsi internal auditor inspektorat jenderal sehingga diharapkan menghasilkan kondisi: i) memastikan instansi pemerintah melaksanakan kegiatan sesuai tugas dan fungsi secara efektif dan efisien serta sesuai dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan; ii) terwujudnya good governance dan clean government serta mendukung penyelenggaraan pemerintah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel (Sirait, 2009; Hestuleksono dan Primahadi, 2010; Primahadi, 2010). Selanjutnya menurut Setyawan (2008) dan Sunarto (2008) jika pengawasan terhadap kinerja pelaksanaan proyek infrastruktur terus dilakukan secara internal dan eksternal sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah sejak digulirkannya reformasi.
Tabel.1. Ilustrasi tindakan peluang terjadinya fraud dalam tahapan proses konstruksi
Conditions of the construction sector in Indonesia is facing a challenge and meet some conditions in the form of a construction project: the twisted economic growth through investment growth and an increase in funding construction projects; resources remain while and not followed by the addition; bureaucratic reform has not gone up since the reform; and characteristics (nature) that the construction sector (dynamic, complex, fragmented, temporal).
These conditions make the construction sector is the sector most vulnerable to potential deviations (fraud) since the project initiation to the maintenance phase or from upstream to downstream, so that the study aims to identify possible irregularities by way of illustration (fraud) and often occur, which is constructed from the literature review and archival documents as well as interviews with several experts in the field (contractors, consultants and public work (Dinas PU) which resulted in several recommendations that can illustrate this potential can be identified early on to be avoided or corrected.
Fraud Illustrations in this study and the potential "thrives" because characteristics of the construction sector and misunderstanding the use of the concept of partnering, which is quite successful in the western culture than the culture of Indonesia. As a preliminary study, it would require more in-depth study to map the potentials trend of fraud in the process and the construction phase is quantitatively the most likely to occur in the context of Indonesia.
Keywords: Fraud, konstruksi, tahapan dan infrastruktur.Abstrak
Kondisi sektor konstruksi di Indonesia menghadapi sebuah tantangan berupa bermuaranya beberapa kondisi dan bertemu dalam sebuah proyek konstruksi berupa: geliat pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan investasi dan peningkatan dana proyek konstruksi; sumberdaya yang tetap sedangkan dan tidak dikuti penambahan; reformasi birokrasi yang belum berjalan maksimal sejak reformasi; dan kondisi karakteristik (nature) sektor konstruksi yakni, dinamis, kompleks, terfragmentasi, temporal.
Kondisi tersebut menjadikan sektor kontruksi adalah sektor yang paling rawan terhadap potensi penyimpangan sejak inisiasi proyek hingga tahap pemeliharaan atau dari hulu hingga hilir, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi melalui ilustrasi penyimpangan yang mungkin dan sering kali terjadi, studi yang dibangun dari kajian literatur dan dokumen dan arsip serta wawancara terhadap beberapa expert di bidangnya (kontraktor, konsultan dan dinas PU) menhasilkan beberapa rekomendasi ilustrasi potensi yang dapat ini dapat diidentifikasi sejak dini untuk dapat dihindari atau diperbaiki.
Ilustrasi-ilustrasi penyimpangan dalam penelitian tersebut semakin berpeluang dan ”tumbuh subur” karena kondisi karakteristik sektor konstruksi dan kesalahpahaman penggunaan konsep ”partnering” atau kemitraan, yang cukup berhasil pada kultur dinegara-negara barat daripada kultur negara Indonesia.
Sebagai studi awal, maka diperlukan studi yang lebih mendalam lagi untuk memetakan potensi – potensi kecenderungan penyimpangan dalam proses dan tahapan konstruksi yang secara kuantitatif paling mungkin terjadi dalam konteks di Indonesia.
PENDAHULUAN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga resmi yang menangani masalah korupsi, mencatat bahwa di Indonesia dari dari 33 kasus atau perkara yang ditangani KPK tahun 2005, 24 kasus atau 77% merupakan kasus tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Perintah Daerah. Proses pengadaan sendiri merupakan mata rantai awal dalam proses proyek konstruksi (Ardisasmita, 2006). Peran sektor konstruksi sangat sentral sebagai salah satu katalisator penyediaan infrastruktur dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Sultan (2005) menyatakan bahwa kondisi in-dustri konstruksi baik di negara maju atau berkem-bang, menghadapi kondisi yang hampir sama yakni ketidakpastian dan resiko, sumber resiko yang besar yang tersebut mencakup : Ketidakstabilan, ke-mampuan tenaga kerja tidak terampil yang tidak merata, rendahnya tingkat produktivitas, overruns dan pemborosan yang berlebihan, kurangnya infra-struktur, banyak praktek penipuan dan ketid-akmampuan mengadopsi cara kerja terbaik, ciri pembiayaan tertentu yang khas di banyak negara berkembang, pengaruh dari pemerintah, dan banyak aktifitas di sektor informal. Selanjutnya Stansbury dan Stansbury (2006) menyatakan secara khusus sehubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang dapat memfasilitasi tindakan penyelewengan yakni struktur kontrak yang kompleks, keragaman keterampilan yang dibutuhkan dalam proyek, fase proyek yang berbeda-beda, besarnya ukuran proyek, keunikan dan kompleksitas proyek, penyembunyian beberapa item pekerjaan dari item lainnya, kurangnya transparansi, dan besarnya keterlibatan pemerintah dalam segala aspek lingkungan proyek yang menyebabkan penyuapan dan penipuan sulit untuk dicegah dan di deteksi.
Berdasarkan kondisi dan latar belakang di atas maka pada penelitian ini bertujuan untuk menyajikan kerangka konseptual tentang pemetaan potensi-potensi tindak penyelewengan pada berbagai tingkatan pelaksanaan proyek konstruksi, kerangka ini dibangun melalui studi literatur dan tinjauan lapangan berupa observasi dan wawancara terhadap beberapa expert di dalam proses konstruksi. Studi ini diharapkan dapat menjadi poin untuk dapat terus membuat proses konstruksi menjadi lebih efisien dan efektif untuk meningkatkan kinerja.
II. Literatur Review
II.1 Pendahuluan
Dalam pengantar pada pemahaman penyim-pangan atau fraud, Olusegun (2011) memberikan beberapa definisi korupsi namun tidak menjelaskan secara spesifik tetapi merupakan perwujudan dari salah satu atau kombinasi dari beberapa definisi dibawah ini :
- Kecurangan/penyimpangan (fraud): sebuah cerminan dari suatu tindakan untuk memperdayai pihak tertentu dan mengambil keuntungan dari yang lain serta telah dianggap sebagai hal yang umum.
- Suap (bribery) - sebuah pengaruh ilegal yang diberikan kepada petugas publik yang sedang menjalankan tugas.
- Pemalsuan (forgery) - sebuah penipuan dalam bentuk perubahan dokumen tertulis atau segel dengan maksud untuk mengambil kepentingan dari orang lain.
- Penggelapan (embezzlement) - sebuah tindakan akuisisi yang salah pada properti atau konstruksi oleh orang yang telah dipercayakan sebelumnya.
- Pemerasan (extortion)- sebuah kejahatan untuk mendapatkan sesuatu seperti uang dari seseorang dengan menggunakan metode ilegal.
Definisi di atas mungkin saja berbeda pada kondisi bidang yang lain namun secara prinsip dapat mewakili definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini. Sohail dan Cavill (2008) menyatakan bahwa American Society of Civil Engineers (ASCE) mengklaim bahwa penyimpangan dalam bentuk korupsi telah menyumbang sekitar $ 340 miliar dari biaya konstruksi di seluruh dunia setiap tahun. Korupsi dalam proyek konstruksi juga telah merusak pelayanan infrastruktur dan menimbulkan risiko yang signifikan bagi perusahaan konstruksi dan rekayasa itu sendiri. Fraud atau korupsi merupakan hambatan yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi, sosial, dan politik, dan pengurangan kemiskinan suatu bangsa serta beberapa konsekuensi serius lainnya berupa:
- Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi rendah.
- Tidak efektifnya pemerintahan.
- Pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik.
- Penurunan investasi dari investor asing dan domestik.
- Rendahnya Kualitas dari infrastruktur publik, dengan hilangnya pendapatan, penyimpangan dana publik, dan penghindaran pajak dalam bentuk korupsi, sehingga pemerintah memiliki lebih sedikit dana untuk dibelanjakan pada infrastruktur publik.
- Mengurangi efektifitas penyediaan barang publik.
Beberapa penyimpangan dalam sektor kon-struksi sering terjadi karena kombinasi dari beberapa hal yakni menurut Stansbury, Rodriguez, dan Price water house Coopers dalam Sohail dan Cavill (2008):
- Deregulasi dalam sektor infrastruktur.
- Besar aliran belanja publik.
- Tingginya kompetisi dalam proses tender;
- Transparansi yang kurang dalam menentukan kriteria seleksi proyek-proyek.
- Campur tangan politik yang besar dalam penentuan kebijakan keputusan investasi.
- Monopoli dalam penyediaan layanan.
- Tingginya margin yang akan dicapai.
- Hubungan yang tertutup diantara kontraktor.
- Adanya subkontraktor dan kepemilikan proyek,
- Kompleksitas peran dan fungsi kelembagaan serta informasi asimetri antara pengguna dan penyedia, atau kronisme dalam industri konstruksi.
Sedangkan Revida (2003) menyimpulkan bahwa penyimpangan berupa korupsi terjadi karena: (1) Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya; (2) Warisan pemerintahan kolonial dan (3) sikap mental pegawai yang ingin ce-pat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Donald R. Cressey (1953) memberikan tentang gagasan penyebab terjadinya kecurangan dan dikenal dengan Fraud triangle theory atau teori se-gitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud (Norbarani, 2012):
- Pressure (Tekanan), yaitu adanya insen-tif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keu-angan.
- Opportunity (Peluang), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Peluang tercipta karena adanya kelemahan pengendalian internal, ketidakefektifan pengawasan manajemen, atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi aktivitas kecurangan juga meningkatkan peluang terjadinya kecurangan.
- Rationalization (Rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka mera-sionalisasi tindakan fraud. Ketiga tersebut digambarkan pada Gambar 1:
Gambar 1. Fraud Triangle Theory
Dari tiga faktor risiko kecurangan (pressure, opportunity dan rationalization), peluang merupakan hal dasar yang dapat terjadi kapan saja sehingga memerlukan pengawasan dari struktur organisasi mulai dari atas. Organisasi harus membangun adanya proses, prosedur dan pengendalian yang bermanfaat dan menempatkan karyawan dalam po-sisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan.
Jadi dari beberapa penyebab dan konsekuensi dari kecurangan (fraud) dapat memberikan pem-ahaman dalam memasuki bagaimana terjadinya penyimpangan dalam industri ko\struksi.
Dalam laporan Bank Dunia yang disajikan oleh Alexeeva,et al. (2008) merancang seperangkat indi-kator untuk menilai kerentanan penyimpangan pada proyek jalan di 13 negara Sub-Sahara Afrika yang didanai dari Bank Dunia. Dengan indikator yang dikembangkan dari data informasi kontrak kerja 109 jalan dan jembatan serta 76 kontrak pengawasan. Dari penawaran, biaya dan kinerja proyek dapat diidentifikasi indikator yang mengindikasikan kerentanan terhadap penyimpangan berupa:
- Perbedaan antara nilai kontrak dan Nilai estimasi insinyur (engineer estimated-EE).
- Pembengkakan anggaran (cost overruns).
- Pemborosan waktu (time overruns).
- Statistik dalam penawaran untuk kontrak dengan dan tanpa pra-kualifikasi yang tidak stabil: jumlah perusahaan yang mengikuti pra-kualifikasi, perusahaan yang mengambil dokumen penawaran, jumlah penawar yang ikut, jumlah penawar yang didiskualifikasi.
- Waktu antara memulai tender dan tanggal penandatanganan kontrak.
- Biaya satuan per kilometer untuk pekerjaan yang sama.
- Biaya kerja jalan per unit.
- Biaya per kilometer dari konsultan pengawasan.
- Rasio antara nilai kontrak pengawasan dan nilai kontrak kerja jalan yang relevan.
Walaupun indikator diatas pada contoh proyek jalan namun sudah dapat mewakili seluruh proyek konstruksi dan beberapa indikator tersebut sebenarnya merupakan kondisi kerentanan ketidakpastian yang akan menghasilkan resiko sehingga berpotensi memunculkan terjadinya penyimpangan.
II.2 Akibat Fraud pada Sektor Konstruksi
Dalam penelitiannya di Indonesia Olken (2007) pada 600 proyek jalan desa Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) atau Kecamatan Development Program (KDP), memperkirakan bahwa dalam $ 1 margin nilai bahan material jalan yang “dicuri” atau dikorupsi akan mengurangi nilai manfaat proyek $ 3,14, hal ini karena mengurangi umur rencana dari jalan yang dibangun dengan material yang tidak memadai. Sehingga akibat yang ditimbulkan dari penyimpangan dapat secara tidak langsung berpengaruh pada kemanfaatan dari kon-struksi yang terbangun pada masa layanannya.
Selanjutnya pengaruh penyimpangan dalam in-dustri konstruksi oleh Shakantu dan Chiocha (2009) dapat menyebabkan beberapa hal yakni :
- Proyek konstruksi terkadang tidak diperlukan, tidak cocok, tidak ekonomis ataupun berbahaya;
- Spesifikasi komponennya dapat memiliki harga yang mahal (over-priced) atau akan menjadi mahal dalam pengoperasiannya dan pemeliharaannya.
- Biaya proyek yang meningkat;
- Penundaan proyek;
- Pasokan peralatan, material atau jasa menjadi cacat; dan
- Pembayaran untuk peralatan, bahan atau jasa, terkadang tidak diberikan.
Sedangkan Castalia (2009) menyatakan bahwa besarnya nilai riil yang dihasilkan dari penyimpangan dalam sektor konstruksi sangatlah sulit untuk diperoleh, hal ini tentunya karena beberapa sebab yakni kurangnya data sebagai bukti aktifitas penyimpangan untuk diidentifikasi sebelum dapat diukur, kesulitan dalam mengidentifikasi jenis dan hilangnya kerusakan yang terjadi sebagai bukti akibat dari aktifitas penyimpangan, dan Kesulitan dalam mengukur/mengkuantifikasi kerugian dan kerusakan yang telah diidentifikasi dari aktifitas penyimpanan, dimana hanya berupa nilai hipotesis/dugaan.
II.3 Strategi Penanggulangan
Pada beberapa kajian terdahulu yang telah dilakukan beberapa strategi pencegahan dan pe-nangulangan dalam beberapa cara dan pendekatan, yang oleh Zou (2006) menyarankan tiga strategi yakni : (1) mengembangkan kejujuran dan budaya etis dalam sektor konstruksi, (2) lembaga secara teratur dan acak mengadakan pengecekan, dan (3) pengawasan selama proses dan kerja berlangsung pada siklus proyek. Pada strategi pertama di atas merupakan strategi jangka panjang sedangkan dua lainnya sebagai tindakan jangka pendek. Sedangkan Mlinga (2005) menambahkan penanggulangan masalah penyimpanan dalam sektor konstruksi tidak terlepas dari persoalan etis, anggapan bahwa masalah kualitas yang buruk, keterlambatan penyelesaian dan pemborosan biaya (cost overruns) proyek konstruksi tidak selalu berkaitan dengan keterampilan teknis dari para engineer/ahli namun dapat pula karena persoalan etika.
Sehingga dapat dikatakan jika persoalan penyimpanan (fraud) telah menjadi problem moral bagi bangsa kita, yang mana di setiap fase kon-struksi terkadang kita selalu dihadapkan pada dilema moral dimana terdapat dua atau lebih kewajiban moral dalam situasi tertentu yang akan saling bersaing dan keduanya tidak bisa sekaligus terpenuhi (Martin dan Schinzinger, 1994).
Pada kebanyakan proyek Mishra et al., (2011) menyatakan bahwa manager proyek lebih mengutamakan biaya, waktu dan kualitas dalam keberhasilan proyek konstruksi daripada dampak sosial dan efek jangka panjang proyek. Selanjutnya mereka mengindentifikasi empat dimensi/kuandran keberhasilan orbanisasi proyek yakni dengan tambahan etika (Gambar 2). Proyek tidak hanya dilaksanakan secara efisien tetapi dengan karakter moral yang tinggi dalam lingkungan yang semakin mengelobal, etika dapat pula menjaga alur hubungan dalam manajemen yang terintegrasi. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan, serta terciptanya keharmonisan, kepercayaan, persaudaraan dan nilai-nilai moral diantara anggota team.
Gambar 2. Perubahan Paradigma Manajemen Proyek.
Peningkatan investasi dan dana pekerjaan konstruksi dari tahun ke tahun membuat kemen-terian pekerjaan umum terus melakukan tugas pengawasan/pengawalan pembangunan infrastruktur PU melalui peningkatan fungsi internal auditor inspektorat jenderal sehingga diharapkan menghasilkan kondisi: i) memastikan instansi pemerintah melaksanakan kegiatan sesuai tugas dan fungsi secara efektif dan efisien serta sesuai dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan; ii) terwujudnya good governance dan clean government serta mendukung penyelenggaraan pemerintah yang efisien, efektif, transparan, akuntabel (Sirait, 2009; Hestuleksono dan Primahadi, 2010; Primahadi, 2010). Selanjutnya menurut Setyawan (2008) dan Sunarto (2008) jika pengawasan terhadap kinerja pelaksanaan proyek infrastruktur terus dilakukan secara internal dan eksternal sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah sejak digulirkannya reformasi.
Selain persoalan etika beberapa bentuk ini-siatif pencegahan korupsi dengan membangun ke-percayaan (trust) (Wong et al., 2008); aspek per-ilaku (personality traits) (Cheung et al., 2003); karakteristik personal (Yiu dan Lee, 2010); kejujuran dan integritas (Setiowibowo, 2011).
Konsep ini akan menjadi sangat cocok dengan kondisi industri konstruksi bangsa kita, dengan penambahan satu dimensi yakni etika akan menjadikan proyek konstruksi lebih harmonis dengan nilai moral dalam pembangunan bangsa.
III. Maksud dan Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap korupsi pada sektor konstruksi serta bagaimana melakukan strategi pencegahan pada setiap tahapannya. Walaupun ini dilakukan di Indonesia, diharapkan dapat diterapkan pada negara lainnya.
IV. Metodologi Penelitian
Studi ini dibangun melalui sejumlah konsep kunci untuk membentuk kerangka konseptual dari topik korupsi dalam konteks sektor konstruksi, se-lanjutnya berdasarkan kerangka konseptual tersebut akan diidentifikasi persoalan korupsi dalam sektor konstruksi melalui studi literatur lanjutan dan studi lapangan berupa wawancara dengan beberapa expert dalam sektor konstruksi serta pengalaman peneliti selama terjun dalam proses konstruksi be-berapa proyek pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian potensi penyimpangan (fraud) pada beberapa tingkatan dan bagian dari proses konstruksi yang dapat diidentifikasi dan dikenali melalui studi arsip dan dokumen serta wawancara mendalam dari beberapa ekspert dan pejabat pemerintah secara khusus dari dinas dan Kementerian Pekerjaan Umum disajikan dalam Tabel 1. (terlampir).
Identifikasi-identifikasi dibagi menjadi beberapa tahapan proses konstruksi, Pihak-pihak yang banyak terlibat dan beberapa ilustrasi tindakan yang memberi peluang terjadinya fraud (penyimpangan) dalam sektor konstruksi.
KESIMPULAN
Pertumbuhan investasi dan peningkatan dana proyek konstruksi dari tahun ke tahun secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi daya dukung pengawasan yang seharusnya semakin meningkat, namun keterbatasan sumberdaya manusia terkadang beberapa hal yang seharusnya di awasi terlewati, ”dilewatinya” beberapa item tersebut karena disengaja dan tidak disengaja.
Potensi penyimpangan dalam proses kontruksi tersebut dapat terjadi sejak inisiasi proyek hingga tahap pemeliharaan atau dari hulu hingga hilir. Potensi ini dapat menjadi identifikasi dini untuk dapat dihindari atau diperbaiki.
Ilustrasi-ilustrasi penyimpangan tersebut semakin berpeluang dan ”tumbuh subur” karena kondisi karakteristik sektor konstruksi yakni, dinamis, kompleks, terfragmentasi, temporal. Selanjutnya dalam sektor konstruksi seringkali terjadi kesalahpahaman penggunaan konsep ”partnering” atau kemitraan, yang cukup berhasil pada kultur dinegara-negara barat daripada kultur negara Indonesia.
REKOMENDASI
Studi ini merupakan studi awal, maka diperlukan studi yang lebih mendalam lagi untuk memetakan potensi – potensi kecenderungan penyimpangan dalam proses dan tahapan konstruksi yang secara kuantitatif paling mungkin terjadi di Indonesia.
REFERENSI
Alexeeva, V., Padam, G. & Queiroz, C. (2008). Monitoring Road Works Contracts and Unit Costs for Enhanced Governance in Sub-Saharan Africa (Victoria Alexeeva). Washington, DC - USA: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.
Ardisasmita, M. S. (2006). Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum Dan E-Announcement Untuk Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih. Seminar Nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (p. pp.3). Jakarta: KPK - Komisi Pemberantasan Korupsi.
Castalia. (2009). Understanding, Measuring and Stopping Corruption in Construction A Foundation Paper and Case Studies, Working Paper 1 - Confidential (www.constr.). Castalia Strategic Advisor.
Cheung, S.-O., Ng, T. S. ., Wong, S.-P., & Suen, H. C. . (2003). Behavioral aspects in construction partnering. International Journal of Project Management, 21(5), 333–343. doi:10.1016/S0263-7863(02)00052-2
Hestuleksono, A. & Primahadi, H. (2010). Konsekwensi Hukum Bagi Penyelenggara Jalan Atas Rusaknya Jalan. Jurnal Auditor, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Vol. 3, No.
Martin, M.W., & Schinzinger, R. (1994). Etika Rekayasa, edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mishra, P., Dangayach, G.S. & Mittal, M. L. (2011). An Ethical Approach Towards Sustainable Project Success. Procedia - Social and Behavioral Sciences (Vol. 25, pp. 338–344). International Conference on Asia Pacific Business Innovation & Technology Management. doi:10.1016/j.sbspro.2011.10.552
Mlinga, R. S. (2005). Ethics In Public Procurement: A Missing Link In The Education And Training Of Construction Industry Practitioners. Public Procurement Regulatory Authority (PPRA), 1–19. Retrieved from www.ncc.or.tz/epp.pdf
Norbarani, L. (2012). Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis Fraud Triangle Yang Diadopsi Dalam SAS No.99, Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Olken, B. A. (2007). Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia. Journal of Political Economy, 115(2), 200–249. doi:10.1086/517935
Olusegun, A. E. (2011). Corruption in the Construction Industry of Nigeria: Causes and Solutions. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences, 2(3), 156–159. Retrieved from http://jetems.scholarlinkresearch.org/articles/Corruption in the Construction Industry of Nigeria.pdf
Primahadi, H. (2010). Pelaksanaan Penawasan Internal Dalam Kerangka Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. Jurnal Auditor, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Vol. 3, No.
Revida, E. (2003). Korupsi di Indonesia: masalah dan solusinya. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. www.repository.usu.ac.id, 1–6. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Korupsi+di+Indonesia:+Masalah+dan+Solusinya#0
Setiowibowo, W. (2011). Good Corporate Governance: Mendorong Implementasi dalam Badan Usaha Jasa Konstruksi. Jakarta: Perkindo Press.
Setyawan, B. (2008). Peningkatan Pengawasan Internal Untuk Menurunkan Tingkat Kebocoran Anggaran Pembangunan Infrastruktur Pekerjaan Umum. Jurnal Auditor, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Vol. 1, No.
Shakantu, W. & Chiocha, C. (2009). Corruption in the Construction Industry: the case of Malawi. RICS COBRA Research Conference, University of Cape Town, 10-11th September 2009. (pp. pp. 1568–1576). Cape Town: RICS.
Sirait, M. C. J. (2009). Pengaruh Sistem Pengendalian Internal dan Auditor Internal terhadap Fraud. Jurnal Auditor, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Vol. 2, No.
Sohail, M., & Cavill, S. (2008). Accountability to Prevent Corruption in Construction Projects. Journal of Construction Engineering and Management - ASCE, Vol. 134(September), pp. 729–738.
Stansbury, N., & Stansbury, C. (2006). Preventing Corruption on Construction Projects: Risk Assessment and Proposed Actions for Funders. Report, July, Transparency International and United Kingdom, UK Anticor(13 July).
Sultan, B. M. K. (2005). The Construction Industry In Yemen Towards Economic Sustainability, Disertasi Doktor. Australia: Queensland University of Technology.
Sunarto. (2008). Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional dalam Kondisi Mengantisipasi Tuntutan Publik. Jurnal Auditor, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Vol. 1.(No. 2.).
Wong, W. K., Cheung, S. O., Yiu, T. W., & Pang, H. Y. (2008). A framework for trust in construction contracting. International Journal of Project Management, 26(8), 821–829. doi:10.1016/j.ijproman.2007.11.004
Yiu, T., & Lee, H. (2010). How Do Personality Traits Affect Construction Dispute Negotiation? Study of Big Five Personality Model. Journal of Construction Engineering and Management - ASCE, 137(March), 169–178. doi:10.1061/(ASCE)CO.1943-7862.0000271.
Zou, P. (2006). Strategies for minimizing corruption in the construction industry in China. Journal of Construction in Developing Countries, 11(2), 15–29.
Tabel.1. Ilustrasi tindakan peluang terjadinya fraud dalam tahapan proses konstruksi