Problematika Industri Konstruksi Nasional

adi pandarangga





Oleh: Adi Pandarangga

Pendahuluan

        Pemerintah menyatakan industri jasa konstruksi dalam negeri masih menghadapi sejumlah masalah serius yang harus segera ditangani, mengingat era masyarakat ekonomi ASEAN sudah dimulai. Hl ini akan diikuti bahwa pasar konstruksi Indonesia akan menarik pengusaha jasa konstruksi asing datang ke Indonesia. Hal ini wajar terjadi mengingat Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di Asean, yang memberikan kontribusi lebih dari 67% terhadap pasar konstruksi Asean (Bisnis.com).

        Indonesia sebagai negara berkembang sedang membutuhkan membutuhkan banyak infrastruktur dan properti untuk menggencot percepatan pembangunan. Kontraktor sebagai pelaku usaha dan pemain utama (focal firm) pada sektor konstruksi nasional dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan daya saing dalam penyelenggaraan konstruksi. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan berdaya saing. Ditambah lagi pertanyaan apakah perilaku (conduct) dalam industri konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut dalam menciptakan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan menengah secara kondusif. LPJKN (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional) mencatat beberapa kendala dan tantangan pelaku jasa konstruksi nasional dalam menghadapi persaingan lokal, nasional bahkan regional.

1.  Ketimpangan Komposisi Jumlah Perusahaan Kontraktor

a.    Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. 

Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi  dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah13% dari  total  182.800  badan  usaha,  sedangkan  15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil  dengan  jumlah  87%  dari  total  182.800 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi dengan nilai  kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi (Tamin, 2012). Struktur industri  konstruksi  nasional  didominasi  oleh  pelaku  usaha  konstruksi berbagai skala  yang memiliki sifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi masih  belum  berkembang  dan  spesialisasi  dipandang  akan  mempersempit peluang usaha.

b.    Struktur usaha yang kokoh, andal, dan berdaya saing belum terbentuk.

Jumlah kontraktor  lebih  dari  150.000  dan  hampir  70%-80%  berada di Jawa. Kemitraan antara badan usaha besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara sinergis,  saling menguntungkan  dan  resiprokal.  Disamping  itu,  jumlah kontraktor  kecil  lebih  banyak  bersifat  umum;  jumlah  kontraktor  swasta  dan daerah  kecil;  jumlah  kontraktor  spesialis  hampir  tidak  ada (Tamin, 2012). Struktur industri konstruksi terfragmentasi  sehingga banyak transaksi dan banyak kontrak. Dengan  demikian,  biaya  transaksi  tinggi  sering  terjadi. Seharusnya  terdiferensiasi  menjadi  generalis  dan  spedialis   bila  diarahkan dapat terbangun dengan struktur yang seimbang (Soeparto, 2012).

c.    Stigmatisasi dalam industri  konstruksi  adalah (Soeparto, 2012) 

  • Mengesankan menjadi tempat permainan kotor,
  • ­Dimanfaatkan untuk meminta jatah,
  • ­Persaingan  sangat  keras  dapat  cenderung  berbahaya, 
  • ­Lebih  berdasar ketrampilan  dari  pada  pengetahuan, 
  • ­Banyak Pekerjaan dilakukan dilapangan,
  • ­Biaya  murah dan nilai tambah rendah;
  • ­Cara berhubungan yang cenderung memicu conflict/bersifat adversarial;
  • ­Terfragmentasi, terpecah pecah dan berasal dari banyak latar belakang berbeda dan
  • Entry barrier rendah dan persaingan berdasarkan harga murah. Secara umum kondisi tersebut menjadikan industri konstruksi  kurang efisien, kurang produktif, kurang innovatif.

2.  Kualitas dan Produktifitas Perusahaan Kontraktor Rendah

a.     Kualitas pekerjaan  kontraktor  masih  rendah  yang  ditandai  oleh  konstruksi cepat rusak, kecelakaan konstruksi tinggi, kegagalan konstruksi dan bangunan mulai  terjadi. 

Selain  itu,  produktifitas  kontraktor  rendah,  daya  saing  lemah, kalah bersaing dengan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia,  sedikit yang berhasil masuk  pasar global, tidak responsif  terhadap permintaan tinggi tenaga kerja konstruksi regional,  tidak ada kontraktor  tenaga kerja konstruksi (Labor  Contractor)  dan  lapangan  usaha  terbatas  dan  belum  berkembang (KBLI) (Tamin, 2012).

b.     Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas.

Permasalahan  ini  dipicu  oleh  keterbatasan  kompetensi  SDM, akses  permodalan  dan  kemampuan  peralatan/  teknologi.  Disamping  itu, permasalah spesifik pelaku usaha di sektor konstruksi adalah adanya “lack of true  competition”,  lack of good governance”.  Selanjutnya,  kebijakan  subcontracting  tidak  dikembangkan  secara  khusus.  Pengawasan,  pemihakan pelaku usaha kecil, spesialis, dan daerah  kurang dilakukan secara sistematis. BUMN  tidak  mendapat  mandat  khusus  pembinaan  pelaku  usaha  kecil  dan spesialis.Kebijakan  pembinaan  terhadap  usaha  kecil  belum  intensif  seperti bantuan  pendanaan,  pelatihan  SDM  dan  manajemen  serta  pengembangan inovasi  teknologi  dan  penyediaan  sistem  asuransi  dan  jaminan  yang kompetitif.

3.  Kemitraan (Partnership) Saling Menguntungkan Antar Kontraktor Belum Terbentuk

a.    Rantai  suplai  konstruksi  nasional  belum  terintegrasi  secara  konstruktif.

        Pelaku  usaha  jasa  konstruksi  dengan  berbagai  skala  usaha  belum  saling berkooperasi  dan  berkolaborasi  dalam  suatu  model  kemitraan  yang  saling menguntungkan  (win-win  partnership).  Kontraktor  skala  kecil  belum mendapatkan  posisi  yang  kuat  dalam  sistem  subkontrak  dengan  perusahaan besar.  Disamping  itu,  kontraktor  kecil  mengalami  banyak  hambatan mendapatkan  pekerjaan  subkontrak  dari  kontraktor  besar.  Pada  prakteknya, hambatan tersebut antara lain adanya hubungan KKN (Kenal Konco Nyantol Proyek);  Kemampuan subkontraktor baik  dari segi SDM, peralatan maupun permodalan; kebiasaan kewajiban membayar  bayar fee proyek  terlebih  dulu yang  berkisar  8%  dari  nilai  proyek  dan  full  finance tanpa uang muka serta harus bersedia dibayar apabila pekerjaan sudah selesai 100%. Disamping itu, kontraktor kecil juga kesulitan mendapatkan dukungan modal dari perbankan dan  menghadapi  pembayaran  yang  sering  molor  sangat  lama  atau  bahkan tidak  sesuai  perjanjian  dan  terkadang  tidak  dibayar. Kontraktor kecil juga sangat susah mendapatkan kepercayaan dari main kontraktor (Gendroyono, 2012).  Secara  umum,  permasalahan  usaha  skala  kecil  menengah  Indonesia adalah (i) akses pasar, (ii) SDM, (iii) manajemen, (iv) akses permodalan, (v) dan  IT  &  production  technology  (Bank  BRI,  2012).  Resiko  pembiayaan untuk sektor konstruksi adalah (i) performance kontraktor tidak sesuai standar sehingga  pelaksanaan  kontrak  terganggu  dan  pembayaran  tagihan  oiw bouwheer ke rekening kontraktor bank pemberi kredit mengalami delay dan atau dibelokan ke bank lain (Bank BRI, 2012).

b.    Keterbatasan kesempatan usaha bagi kontraktor skala kecil.

    Kontraktor skala besar  seperti BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah serta ekploitasi subkontraktor. Kontraktor besar dinilai belum ikut serta memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala  kecil lokal  dimana  pekerjaan  konstruksi berada.Penggolongan  usaha  yang  kurang tepat, dan batasan pasar yang tidak mendukung sehingga mempersempit peluang usaha perusahan kecil maka kesempatan  mereka hanya menjadi subkontraktor, sehingga diperlukan pengaturan segmentasi pasar yang sehat. Peraturan perundangan sebenarnya cukup melindungi subkontraktor, namun sayang karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku, maka timbullah banyak permasalahan-permasalahan dalam subkontrak (Gendroyono, 2012).

4.  Kelembagaan Pembinaan dan Pengembangan

­       Peran pembinaan pemerintah belum efektif dan kurang tegas dinyatakan siapa yang  mewakili  pemerintah.

    Disamping itu, koordinasi yang lemah antara stakeholders dan saling mengharapkan  antara  pemerintah  dan LPJKN/D.Peran LPJKN/D  terbatas  dan  kemampuan  pendanaan  yang terbatas.  Disamping  itu,  lembaga ini tidak  sepenuhnya  mendapat  dukungan pendanaan  dari   pemerintah.  Dalam  kondisi  keterbatasan  tersebut, konsentrasi peran masih sebatas sertifikasi dan registrasi badan usaha, tenaga ahli  dan  tenaga  terampil. Sistem dan tatakelola proses sertifikasi  masih diwarnai  oleh  conflict  of  interest. Namun demikian, sudah ada sedikit harapan kemajuan  dalam  penelitian  dan  pengembangan.  Lembaga  sudah mulaimendorong pelaksanaan pendidikan dan  pelatihan.  Disamping  itu, inisiatif  pengaturan  penilai  ahli,  arbitrase, dan  mediasi,  serta  peningkatan partisipasi masyarakat sudah ada (Tamin, 2012).

5.  Kelemahan Rantai Pasok Konstruksi

  •   Kompetisi antar rantai pasok yang dimiliki oleh kontraktor belum terjadi di Indonesia.
Kondisi ini terjadi karena (i) Kompetisi semu, (ii) Tidak menjadi sebuah  keharusan  dari  owner,  (iii)  Hubungan antar rantai  pasok  yang  ada belum  berjangka  panjang,  (iv)  dan  Tidak  ada  loyalitas  dalam  rantai  pasok. Disamping  itu,  perbedaan  hubungan  antara  tahap  lelang  dan  tahap pelaksanaan  juga  sering  terjadi  disebabkan  oleh  kontraktor  belum  memiliki rantai  pasok  yang  loyal  dan  stabil,  aturan  memaksa  untuk  tidak  dapat mencantumkan keseluruhan rantai pasok, tidak ada keharusan dari owner dan pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan rantai pasok, dan hubungan yang tidak  berjangka  panjang  dalam  rantai  pasok.
  •    Lokalisasi kontraktor dalam  arti kontraktor lokal melakukan pekerjaan untuk pekerjaan  lokal  tidak  terjadi di Indonesia.
Kondisi ini disebabkan oleh intervensi kontraktor  nasional, kontraktor  lokal  tidak  terbina  dan  terjadi vertical integration yang dilakukan oleh BUMN, meskipun kontraktor BUMN memiliki  alasan  profesionalitas  yang  valid  pula  dalam  hal  ini,  sulit mendapatkan  mitra  kerja  local  yang  memenuhi  standar  kualitas.  Beberapa pemerintah  daerah  telah  menggunakan  aksi  afirmatif  dengan  memaksa kontraktor  BUMN  bermitra  dengan  lebih  dari  satu  kontraktor  local  untuk pekerjaan  konstruksi  yang  bernilai  besar.  Namun  tetap  isyu  profesionalitas masih  ada,  sehingga  perlu  tambahan  biaya  untuk  mengakomodasi  aksi afirmatif ini bagi kontraktor BUMN (Abduh, 2012).

6.  Kontraktor “Selon” dan Keterbatasan Kompetensi

Pengalaman praktikal pada pengadaan  pekerjaan  konstruksi  oleh  nonpemerintah  menunjukkan  adanya  perikatan  kesepakatan  para  kontraktor secara  terselubung  dan  kemudian  cenderung   berusaha  mempengaruhi /mengatur   proses  tender.  Disamping  itu,  di  lapangan  juga  muncul  adanya kontraktor “selon” yang artinya seseorang yang bisa mempunyai 1001 perusahaan  konstraktor  dengan  berbagai  keahlian.  Tender  terbuka  akan membuka  peluang  kontraktor  “selon”  untuk  mengikuti  dan  mengatur  mitra yang lain dan justru  tidak profesional.  Kenyataan juga menunjukkan bahwa klien  non-pemerintah  juga  mengalami  permasalahan  mutu  pekerjaan kontraktor. Kecuali kontraktor besar dan bernama, masih banyak kontraktor yang  belum  memenuhi  standard  mutu  dan  belum  handal  dan  efektif  dalam pengendalian waktu dan klien merasa bagaikan membeli kucing dalam karung.Permasalahan tersebut selalu menimbulkan effort tambahan bagi tim tender untuk  menyelesaikan  hal  non  teknis  bila  hal  tersebut  muncul. Kontraktor kecil masih banyak yang tidak bisa  memenuhi target biaya, mutu dan waktu yang direncanakan (Karya, 2012).

7.  Ketimpangan Kompetensi & Perlindungan SDM Konstruksi

  • Industri  konstruksi  pada  2011  diperkirakan  memiliki  6.34  jt  tenaga  kerja konstruksi  dengan  komposisi  60%  merupakan  unskill  labour  (3,8  jt),  30% merupakan  skill  labour  (1,9  jt)  dan  10%  merupakan  tenaga  ahli  (634  rb) dengan  kondisi  kurang  dari  7%  yang  telah  tersertifikasi  (Suhono,  2012).
  • ­Investasi  SDM  (recruitment)  yang  keliru  baik  di kontraktor  maupun  di  konsultan  akibat  cara-cara  procurement  yang  tidak tepat  maupun  demi  kelangsungan  hidup.
  • ­ Pengakuan,  penghargaan  dan perlindungan  kompetensi SDM di sektor konstruksi  yang masih terbatas  baik disebabkan  belum  adanya  undang-undang  profesi  keinsinyuran  dan kearsitekturan,  ketimpangan  billing  rate  dan  belum  adanya  asuransi  profesi (indemnity professional insurance).
  • ­ Disamping itu, profesionalisme, etika dan hukum serta body of knowledge sertifikasi sdm belum ditegakkan, belum berjalan dan  banyak  yang  belum  mengenal  Contiuning  Professional  Development (CPD) (Mulyo, 2012).
  • ­ Koordinasi terkait  pengembangan  kompetensi  SDM  di  sektor konstruksi mencakup antara lain koordinasi antar dan inter lembaga pelatihan belum  terbentuk;  Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) baru saja disepakati  melalui  PP  Nomor  8  tahun  2012;  Dualisme  sistem  sertifikasi profesi  (BNSP & LPKJN);  keterbatasan  anggaran  pemerintah;  belum optimalnya  standard  kompetensi,  penyelenggaraan  pelatihan  dan  uji  bagi SDM  konstruksi;  keterbatasan  sarana  dan  prasarana  pelatihan;  dan  belum berkembangnya  sistem  informasi  pembinaan  kompetensi  dan  pelatihan konstruksi.  Disamping itu, implementasi sertifikasi profesi masih terdistorsi.
  • ­ Sertifikasi  profesi  dilakukan  belum  secara  sistematis  dan  benar-benar obyektif  melalui  uji  kompetensi  sesuai  SKKNI.  Sertitifikasi  profesi  belum merupakan  solusi  penjaminan  profesionalisme  praktek  profesi  keinsinyuran dan kearsitekturan tetapi masih menjadi bagian dari transaction cost economy yang  tinggi  serta  hanya  menjadi  kebutuhan  administratif  bukan  kebutuhan profesinalisme  individu  praktek  profesi.  Sertifikasi  profesi  masih  menjadi sumber  pengumpulan  dana  asosiasi  dan  belum  menjadi  kebutuhan  individu (Suhono & Suraji, 2012).

8.  Distorsi pada Pengadaan dan Kontrak Konstruksi Pemerintah

a. Etika  usaha  di  sektor  konstruksi  masih  belum  terinternalisasi  secara menyeluruh. 

Permasalah  etika  pada  pengadaan  dan  pelaksanaan  kontrak kontrak  pemerintah  adalah  Peminjaman  User  ID,  Peminjaman  nama perusahaan,  Sub-kontrak  di  luar  kendali,  Penggunaan  produk  sub-standar, Pekerjaan  dibawah  standar  atau  spek  teknis,  dan  Pemalsuan  progres  fisik. Disamping itu, kekurang pahaman terhadap peraturan perundangan misalnya Pemahaman  terhadap  Peraturan  pengadaan,  Pemahaman  terhadap  dokumen lelang,  Pemahaman  terhadap  konsep  ketentuan-ketentun  kontrak  termasuk persyaratan  administrasi,  kualifikasi  dan  teknis  serta  penawaran  harga  juga mempengaruhi distorsi pengadaan dan pelaksanaan kontrak (LKPP, 2012).

b.Penyimpangan  proses  pemilihan  penyedia  jasa  sering  terjadi  misalnya  (LKPP, 2012)

  • ­ Terbukti  melakukan  Korupsi,  Kolusi,  dan  Nepotisme,  kecurangan  dan/atau pemalsuan  dalam  proses  Pengadaan; 
  • ­ Mempengaruhi  ULP/Pejabat Pengadaan/PPK/pihak  lain  yang  berwenang  dalam  bentuk  dan  cara  apapun, baik  langsung  maupun  tidak  langsung  dalam  penyusunan  Dokumen Pengadaan  dan/atau  HPS  yang  mengakibatkan  terjadinya  persaingan  tidak sehat; 
  • ­ Melakukan persekongkolan dengan Penyedia lain untuk mengatur Harga  Penawaran  diluar  prosedur  pelaksanaan  Pengadaan,  sehingga mengurangi/  menghambat/memperkecil  dan/atau  meniadakan  persaingan yang  sehat  dan/atau  merugikan  orang  lain; 
  • ­ Membuat  dan/atau menyampaikan  dokumen  dan/atau  keterangan  lain  yang  tidak  benar  untuk memenuhi  persyaratan  Pengadaan  ditentukan  dalam  Dokumen  Pengadaan;
  • ­Mengundurkan  diri  dari  pelaksanaan  Kontrak  dengan  alasan  yang  tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
  • ­ Membuat  dan/atau  menyampaikan  dokumen  dan/atau keterangan  lain  yang  tidak  benar  untuk  memenuhi  persyaratan  yang ditentukan  dalam  Dokumen  Pengadaan; 
  • ­ Mengundurkan  diri  pada  masa penawarannya  masih  berlaku  dengan  alasan  yang  tidak  dapat  diterima  oleh ULP/Pejabat  Pengadaan;
  • ­ Menolak untuk menaikkan nilai jaminan pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80 % HPS; 
  • ­ Mengundurkan diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan pada saat pembuktian  kualifikasi  dengan  alasan  yang tidak dapat diterima  dalam pengadaan barang/pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya;
  • ­ Mengundurkan diri/tidak hadir bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat klarifikasi dan  negosiasi  teknis  dan  biaya  dengan  alasan  yang  tidak   dapat  diterima dalam pengadaan  jasa konsultansi;
  • ­ Memalsukan  data  tentang  TKDN;
  • ­ Mengundurkan diri bagi pemenang  dan  pemenang  cadangan  pada  saat penunjukan Penyedia  dengan alasan yang tidak dapat  diterima; 
  • ­ Mengundurkan diri dari pelaksanaan penandatanganan kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh PPK.

f.      Pelanggaran  pada  pelaksanaan  kontrak  mencakup  antara  lain  (LKPP, 2012).

  • ­ Terbukti merakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
  • ­ Menolak menandatangani  Berita  Acara  Serah  Terima  Pekerjaan;
  • ­ Mempengaruhi PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna  memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • ­ Melakukan perbuatan lalai/cidera janji  dalam melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak oleh PPK;
  • ­ Meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak secara tidak bertanggungjawab; 
  • ­ Memutuskan  kontrak  secara  sepihak karena  kesalahan  Penyedia; 
  • ­ Tidak  menindaklanjuti  hasil  rekomendasi audit  pihak  yang  berwenang  yang  mengakibatkan  timbulnya  kerugian keuangan Negara, dan
  • ­ Melakukan pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan.

Kesimpulan

Berbagai tantangan yang dihadapi industri konstruksi nasional diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  • Berbagai persoalan sektor konstruksi dapat menjadi peta/map bagi pelaku sektor konstruksi untuk sejak dini memetaan/mapping persoalan-persoalan tersebut sehingga menjadi arah bagi pemangku kebijakan jasa konstruksi disetiap daerah di Indonesia.
  • Pemerintah dapat membangun Good “ Construction” Governance melalui industri konstruksi berdasarkan ketimpangan/problematika yang terjadi di lapangan sebagai prasyarat membangun tata kelola struktur industri konstruksi nasional.
  • Tantangan/problematika industri konstruksi dapat sebagai identifikasi dini untuk dirumuskan sebagai kebijakan afirmatif/memihak untuk memicu perkuatan struktur industri konstruksi.
  • Pemerintah dan masyarakat serta pelaku jasa konstruksi dapat memahami begitu pentingnya mencegah etika (trust, reciptrocity dan sinergi) dalam industri konstruksi untuk mempererat struktur industri konstruksi nasional melalui kemitraan.

Sumber

  •  LPJKN. (2012). Potition Paper “Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) “ Jakarta. Editor Suraji, A. & Pribadi, K. S.
  • ­Soeparto, H. G. (2007). Strategi Pengembangan Industri Konstruksi Melalui Analisis Produktifitas Dan Pengaruh Lingkungan Usaha : Sebuah Pendekatan Meso Ekonomi Agregatif. Disertasi - Doktor. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • ­Budiwibowo, A. (2005). Cluster Konstruksi Indonesia, Thesis S2. Jakarta: Universitas Indonesia. Fakultas Teknik.
  • ­Buku Konstruksi Indonesia 2010, 2012, 2013, 2014, 2015. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi
  • ­KPPU. (2012). Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Industri Jasa Konstruksi (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
  • ­Pusbin_SDI. (2010b). Roadmap Pembinaan Sumberdaya Investasi Infrastruktur. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruks