Strategi Penerapan dan Penentuan Pola Rantai Pasok Konstruksi Pada Proyek Jalan Dan Jembatan Kabupaten

adi pandarangga
STRATEGY IMPLEMENTATION AND DETERMINATION OF CONSTRUCTION SUPPLY CHAIN PATTERN AT DISTRICT ROAD AND BRIDGE PROJECTS

(Case Study in the Office of Public Works East Sumba)

STRATEGI PENERAPAN DAN PENENTUAN POLA RANTAI PASOK KONSTRUKSI PADA PROYEK JALAN DAN JEMBATAN KABUPATEN

(STUDI KASUS PADA DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN SUMBA TIMUR)

Adipapa Pandarangga 1), M. Agung Wibowo 2), dan Jati Utomo Dwi Hatmoko 3)
1,2,3) Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Jalan Hayam Wuruk No. 5-7, Semarang e-mail: benpandarangga@gmail.com


Abstract
The application of the construction supply chain (CSC) in Indonesia at early stages. The application of the concept of CSC has been introduced in private projects, while projects are managed by the government has not been done. Therefore, this research was conducted to fill the existing research gap by identifying the application of the concept of CSC system on projects undertaken by the autonomous regional government. This study aims to identify strategies and patterns of CSC application to roads and bridges districts projects. This research produced three main themes in the form of: (i) the implementation of strategies in materials and construction equipment (MCE), (ii) procurement strategy, (iii) the application of pattern CSC. The resulting policies to support the implementation of CSC by owner (public works agencies) is to ensure the policy owner alignments small contractors get jobs through investments in road leveling equipment (motor grader), stone-breaking innovation tools (stone crusher dump trucks) and initiate or establish a partnership (partnering) between owner, contractors, consultants,and suppliers. Therefore, this study uses a case study that further research needs to be done to obtain CSC patterns phenomenon throughout the autonomous region with a quantitative approach in order to obtain a comprehensive picture CSC application in Indonesia.
Keywords: construction supply chain, pattern, road, project.

Abstrak
Studi penerapan rantai pasok konstruksi (RPK) di Indonesia memasuki tahap awal. Penerapan konsep RPK telah mulai diperkenalkan pada proyek-proyek swasta, sedangkan pada proyek-proyek yang dikelola oleh pemerintah belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengisi gap penelitian yang ada dengan mengidentifikasi penerapan konsep sistem RPK pada proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah otonom. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi dan pola penerapan RPK pada proyek jalan dan jembatan kabupaten. Penelitian ini menghasilkan tiga tema utama yakni strategi penerapan material dan peralatan konstruksi (MPK), strategi pengadaan dan pola penerapan RPK. Kebijakan yang dihasilkan untuk mendukung penerapan RPK oleh owner (dinas PU) adalah kebijakan keberpihakan owner untuk menjamin kontraktor kecil memperoleh pekerjaan melalui investasi alat perataan jalan (motor grader), inovasi alat pemecah baru (stone crusher dump truck) dan menginisiasi atau membangun pola kemitraan (partnering) diantara owner, kontraktor, konsultan dan supplier. Oleh karena penelitian ini menggunakan satu studi kasus maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperoleh penomena pola RPK di seluruh daerah otonom dengan pendekatan kuantitatif sehingga diperoleh gambar menyeluruh penerapan pola RPK di Indonesia.
Kata-kata kunci: rantai pasok konstruksi, pola, jalan, proyek.

PENDAHULUAN
    Sejak dicanangkannya otonomi daerah maka sebagian besar kewenangan pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah, begitu pula kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini beberapa penyediaan infrastruktur fisik oleh Kementerian Pekerjaan Umum diserahkan kepada pemerintah daerah melalui dinas pekerjaan umum di tiap tingkatan pemerintah provinsi dan pemerintah kabu-paten/kota (UU No 32 & 33 Tahun 2004). Dengan jumlah kabu-paten kota 497 dan jika ditambah pemerintah provinsi maka daerah otonomi akan berjumlah 530 (Kemendagri, 2010). Jumlah pemerintah daerah yang besar dan tersebar ini akan menunjukkan pemindahan sebuah rantai pasok konstruksi (RPK) dalam konteks nasional kepada rantai pasok konstruksi (RPK) dalam konteks re-gional (daerah).
        Pada struktur pasar industri konstruksi nasional telah terjadi ketimpangan struktur pasar, yang secara hipotetik, sekitar 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah sekitar 15% dari total 160.000 badan usaha, sedangkan sekitar 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan jumlah sekitar 85% dari total 160.000 badan usaha (Suraji dan Pribadi, 2012). Keadaan ini tentunya menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi. Selanjutnya akan muncul pertanyaan adalah bagaimana menstrukturkan kembali sistem industri konstruksi (restructuring the industry) sehingga para pelaku usaha sektor khususnya perusahaan kontraktor tersebut mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan kemudian juga mampu memperluas pangsa pasar di luar negeri dan dapat terjadi keadilan dan pemerataan kesempatan memperoleh pekerjaan konstruksi yang sama bagi kontraktor kecil. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah kebijakan RPK, kebijakan ini mencakup perkuatan sistem subletting, subcontracting dan partnership.
        Perkuatan RP perlu memisahkan antara pembinaan dari pengelolaan proyek, untuk pembinaan dari kontraktor besar kepada kontraktor kecil, menengah dan spesialis sebagai bagian dari keluarga rantai suplainya. Kebijakan rantai pasok ini perlu didukung dengan pembatasan dominasi kontraktor besar badan usaha milik negara di berbagai daerah dengan menyediakan kuota pasar bagi subkontraktor kecil menengah di daerah. Dalam rangka mentransformasi kontraktor kecil menengah menjadi spesialis, suatu pengkajian pangsa pasar dan kebutuhan pendampingan teknis perlu dilakukan secara komprehensif serta pemberlakuan persyaratan bahwa kontraktor besar terutama BUMN untuk memberikan porsi minimum 20% dari total kontrak pekerjaan konstruksi disubkontrakkan kepada kontraktor kecil menengah spesialis (Abduh, 2012).
        Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan sebuah pen-jabaran akan pentingnya penerapan RPK di level mikro dalam hal ini penerapannya di daerah atau kabupaten, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri apalagi setelah dicanangkannya otonomi daerah dan banyaknya daerah otonomi yang akan menerapkan sistem manajemen RPK. Oleh karena itu pada tulisan ini akan dikaji permasalahan yang telah disajikan pada latar belakang di atas yakni seperti apa pembentukan pola jaringan RPK dan bagaimana proses pembentukannya pada proyek-proyek di daerah yang dikelola oleh daerah otonomi melalui pemerintah daerah (pemda). Pada penelitian ini akan dipilih sebuah studi kasus yang mengimplementasikan strategi yang sesuai dengan konsep MRPK (manajemen rantai pasok konstruksi), sistem administrasi proyek pemerintah (dinas pekerjaan umum - PU) dan sinergi pelaksanaan pada level proyek (construction site).
        Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gam-baran strategi penerapan RPK dan pola RPK pada pelaksanaan proyek jalan dan jembatan kabupaten pada Dinas Pekerjaan Umum. Sedangkan tujuan penelitian akan menganalisis dan mendeskripsikan strategi penerapan RPK dan menentukan pola RPK berdasarkan pelaksanaan praktek proyek-proyek jalan dan jembatan di Kabupaten  Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

KAJIAN PUSTAKA
    RP merupakan suatu konsep yang awalnya dikembangkan pada industri manufaktur, konsep ini kemudian diadopsi pada in-dustri konstruksi untuk pencapaian efisiensi mutu, waktu dan biaya yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, serta kepuasan pelanggan.
       Vrijhoef (2011) menyatakan bahwa manfaat utama dalam mengadopsi konsep RP dari manufaktur adalah untuk meningkatan  kinerja pelaksanaan proyek konstruksi, seiring semakin meningkatnya pekerjaan pengulangan, besarnya kapasitas, semakin terintegrasi dan terstandarisasinya sebuah proyek maka diperlukan efektifitas dan efisiensi yang terintegrasi dalam organisasi dan proses manajemen untuk menghasilkan produk yang khas dengan waktu yang terbatas. Kondisi ini akan menjadi hal yang berharga dan penting untuk mengadopsi konsep RP yang akan diterapkan pada sektor konstruksi yang diketahui bersama memiliki beberapa kelemahan seperti kompleks, terfragmentasi, dan temporal.
Konsep RPK sebenarnya telah ada pada manajemen proyek tradisional, dimana terjadinya proses pengadaan secara sederhana yang digambarkan apabila persediaan material di lokasi  proyek yang sudah menipis dan diukur dari safety stock yang telah ditentukan, atau adanya rencana pemakaian material oleh pihak pengguna di proyek, dan kemudian pihak yang menganalisa kebutuhan mengirimkan catatan kebutuhan yang meliputi jenis, dan jumlah  material serta informasi waktu kapan material tersebut dibutuhkan, sehingga pihak pengadaan dapat memperkirakan waktu pembeliannya (Huston, 2001 dalam Rahmadi, 2008). Sehingga dapat dikatakan jika konsep RPK merupakan konsep baru yang lebih luas dari logistik dan distribusi, Serta RPK lebih mengutamakan pengurangan waste di setiap jaringannya dan peningkatan value–added pada setiap jaringannya.
Beberapa definisi RPK dari beberapa peneliti sebagai berikut :
    ”Keterlibatan jaringan organisasi mulai dari hubungan hulu (up-stream) hingga ke hilir (downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang bernilai hingga sampai kepada pelanggan terakhir” (Vrijhoef dan Koskela, 1999).
“Sebuah rantai pasokan yang terdiri dari semua tahapan yang ter-libat, baik langsung atau tidak langsung, dalam rangka memenuhi permintaan pelanggan. Rantai pasokan ini tidak hanya mencakup produsen dan pemasok tetapi juga transportasi, gudang, pengecer, dan pelanggan itu sendiri” Chopra dan Meindl (2007)”.
    “jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir....termasuk di dalamnya suplier, pabrik distributor, toko/ritel serta perusahaan pendukung seperti perusahaan logistik” Pujawan (2005).
“melibatkan sekumpulan organisasi atau sebuah jaringan perus-ahaan dimana bekerja sama untuk menyediakan material, pelayanan, informasi dari sumber kepada pengguna akhir. Hatmoko (2008)
    Jadi berdasarkan definisi-definisi yang disajikan oleh beberapa peneliti maka RPK merupakan keterlibatan jaringan berbagai pihak atau organisasi (supplier, manufaktur, distributor dan retailer) yang saling berhubungan mulai dari hulu (upstream)  hingga ke hilir (downstream) dalam bekerja sama untuk menyediakan material, pelayanan, informasi dari sumber kepada pengguna akhir.
Secara lebih jelas alur tersebut digambarkan oleh Vrijhoef (1998) pada Gambar 1.



Gambar 1. Representasi Konseptual Rantai Pasok Konstruksi (Vrijhoef, 1998)

     Secara tradisional pembentukan RPK telah terlihat melalui suatu proses produksi, diawali pada tahap penawaran, ketika jaringan RPK suatu kontraktor akan memiliki daya saing tertentu terhadap jaringan RPK dari kontraktor lainnya dalam memenangkan tender. Pada tahap ini menunjukkan bahwa persaingan yang terjadi bukan lagi persaingan antar perusahaan konstruksi secara individu, namun merupakan persaingan antar jaringan RPK atau antar jaringan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam suatu hubungan proses produksi konstruksi, yang ditawarkan dalam bentuk penawaran. Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan terjadi proses pengadaan yang dilakukan oleh kontraktor dalam penyusunan jaringan RP-nya. Pada bagian ini akan menentukan seberapa besar tingkat efisiensi yang terjadi didalam proses produksinya hingga mengahasilkan produk dan jasa yang sesuai dengan nilai (value) yang diinginkan oleh pemilik (owner). Kondisi ini seperti yang dikatakan oleh Christopher (1998) bahwa persaingan yang sesungguhnya terjadi dimasa yang akan datang adalah persaingan antara jaringan RP.


Gambar 2 Pola RPK menurut Vaidyanathan (2009)

     Pada penelitian terdahulu yang bertujuan untuk mencari pola RPK pada proyek, Vaidyanathan (2009) memperkenalkan pola RPK pada proyek konstruksi pada Gambar 2. Pola yang ditawarkan menunjukkan penyediaan layanan yang memiliki nilai tambah (value added) oleh beberapa komponen arsitek, engineer, kontraktor, manajer proyek, dan finansial. Sehingga dapat dikatakan jika seluruh komponen dalam proses konstruksi memiliki peran yang lebih aktif dari pada bidang manufaktur. Singkatnya waktu dan produk yang dihasilkan dalam satu kali produksi membuat desainer/arsitek dan engineer memainkan peran yang sangat besar dalam sebuah proses RPK.
Selanjutnya pada penelitian di Indonesia, penelitian tentang penerapan RPK pada proyek konstruksi belum banyak dan baru dimulai (Lapu, 2004;  Soemardi, Wirahadikusumah, dan Larasati, 2007; Noorlaelasari, 2008) sedangkan kajian pada penelitian ini merupakan yang pertama menerapkan konsep RPK pada proyek-proyek pemerintah.
        Susilawati (2005) mengkaji pola RPK dengan menganalisis proyek konstruksi yang dikerjakan oleh kontraktor pada tingkat pusat dan pada tingkat perusahaan. Pada tingkat proyek ditemukan adanya peran owner yang besar dalam menentukan keluasan jaringan RPnya. Hal ini bermula pada pemilihan metode kontrak yang dilakukan oleh owner, yang akan menunjukkan pihak-pihak mana saja yang akan berperan dalam penyusunan jaringan RPKnya, dan seberapa luas jaringan RP dari pihak-pihak tersebut. Peran owner ini ditemui khususnya pada produk konstruksi yang memiliki tujuan investasi. Munculnya hubungan yang memposisikan kontraktor, spesialis, dan subkontraktor dalam pola hubungan yang setara, serta terjadinya hubungan langsung antara owner dengan penyedia material yang potensial merupakan pola khusus yang teridentifikasi dalam produk konstruksi jenis ini. Namun produk konstruksi yang tidak memiliki tujuan investasi, maka kontraktorlah yang berperan dalam penyusunan jaringan RPKnya, dalam pola hubungan yang umum terjadi. Sedangkan pada tingkat perusahaan dari tiga kontraktor X, Y dan Z, diperoleh temuan bahwa kontraktor memiliki tiga kebijakan yang berbeda dalam melakukan pengadaannya (kebijakan sentralisasi, desentralisasi dan modifikasi dari keduanya) yang akan membedakan proporsi kewenangan pengadaan yang dilakukan oleh tingkat pusat dan tingkat proyek. Dengan melihat refleksinya pada jaringan RPK pada masing-masing proyeknya, diketahui bahwa ketiga kebijakan tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan sepenuhnya. Walaupun konsep RP masih terbatas penerapannya dalam konstruksi, pembelian secara terpadu yang dilakukan oleh kontraktor telah menunjukkan bahwa cikal bakal penerapan konsep ini sudah mulai dilakukan oleh kontraktor pada tingkat pusat dalam bentuk kontrak payung. Pola RPK yang diperoleh pada penelitian ini dibagi menjadi dua yakni pola umum dan khusus yang disajikan dalam Gambar 3. dan Gambar 4.


 Gambar 3.  Pola Umum dalam Rantai Pasok Konstruksi  (Susilawati, 2005).



 Gambar 4. Pola Khusus dalam Rantai Pasok konstruksi (Susilawati, 2005).


    Pada penelitian lainnya tentang pola RPK, Juarti (2008) memaparkan pola RPK yakni dari tiga belas pola RP pengem-bangan perumahan yang ditinjau diperoleh pola umum dan pola khusus yang terjadi. Pola umum dibentuk berdasarkan hubungan kontrak yang terjadi antara pengembang dengan pihak lain dalam mengembangkan perumahan. Pola umum tersebut diidentifikasi pada tahap desain/perancangan perumahan dan tahap pelaksanaan konstruksi perumahan. Dalam pola umum tersebut terjadi 6 variasi pola khusus yang dasar pembentukan polanya didasarkan atas keterlibatan pihak pengembang dalam pengadaan barang dan/jasa dalam pengembangan perumahan.
       Berdasarkan pada penelitian terdahulu tersebut maka dirasa perlu mengembangkan sebuah kajian pendahuluan tentang pola RPK pada proyek skala mikro yang dikelola oleh pemerintah daerah, bernilai kecil dan berjumlah banyak serta banyak dipengaruhi oleh organisasi pemerintah.

METODE PENELITIAN
        Penelitian ini bersifat kualitatif eksploratif dan dirancang berdasarkan pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilakukan pada proyek jalan dan jembatan pada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bidang Bina Marga Kabupaten Sumba Timur, dengan tin-jauan pada tingkatan manajemennya yaitu tingkatan organisasi proyek. Data penelitian diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumen-dokumen kontrak dan penting yang terkait. Proyek-proyek yang dikaji yaitu proyek yang terlaksana selama 2005-2012 dan pihak terkait yang diwawancara berupa Kepala Dinas (eselon 2): 3 orang; Kepala Bidang (eselon 3): 3 orang; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK): 5 orang; panitia lelang: 6 orang; pengawas lapangan: 8 orang; konsultan: 6 orang; kontraktor: 15 orang; anggota DPRD: 3 orang.
        Analisis dan bahasan yang dilakukan berdasarkan pada pelaksanaan proyek jalan dan jembatan pada Bidang Bina Marga-Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumba Timur. Teknik analisis yang dilakukan dengan mengidentifikasi beberapa aspek yang ditinjau pada setiap tingkatan pelaksanaan proyek. Untuk analisis pada tingkat proyek dan tingkat pelaksanaan oleh kontraktor sebagai rekanan Dinas Pekerjaan Umum dan untuk tingkat organisasi dilakukan pada administrasi dinas PU dan administrsi kontraktor, Selanjutnya untuk memvalidasi setiap proses dilakukan wawancara mendalam terhadap beberapa pihak terkait.

HASIL DAN PEMBAHASAN
    Penerapan otonomi daerah memunculkan peluang bagi daerah untuk mengelola sendiri pemerintahannya, termasuk kewenangan pengelolaan proyek infrastruktur jalan dan jembatan di daerah. Pengelolaan proyek fisik yang sebelumnya tersentral pada pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU), kini telah dilimpahkan pada daerah otonom. Dinas PU sebagai representasi pemerintah daerah menjalankan fungsinya mengelola paket proyek pekerjaan jalan dan jembatan.
     Pengelolaan proyek pemerintah dengan pendekatan sistem RPK sejalan dengan semangat reformasi tata kelola pemerintahan yakni meningkatkan nilai tambah (value added) dan mengurangi waste di setiap alur dan aktifitas pelaksanaan proyek pemerintah.
Peluang penerapan RPK menjadi tantangan bagi pemangku kebijakan di seluruh Indonesia untuk melakukan efesiensi dan efektifitas proses pelaksanaan kontruksi melalui penerapan sistem RPK sehingga membentuk pola yang secara umum sama dan secara khusus sesuai dengan konteks daerahnya.
        Secara umum kondisi proyek jalan dan jembatan kabupaten dimulai dengan inisiatif pemilik proyek (owner) dalam hal ini Pemerintah Daerah melalui Bidang Bina Marga-Dinas Pekerjaan Umum.
Banyaknya proyek jalan bernilai kecil (K, <1 Milyar) dengan item pekerjaan lapen dan aggregat (sekitar 80%) ber-jumlah 20-30 paket dan jembatan dengan bentang 6-12 meter berjumlah 2-4 paket, sedangkan sisanya paket pekerjaan bernilai M (>1Milyar) untuk pekerjaan hotmix (2-3 paket). Jumlah paket ini merupakan jumlah rata-rata yang dikelola selama kurun waktu 2005-2012, sehingga dapat dikatakan jika paket pekerjaan proyek jalan kabupaten didominasi oleh pekerjaan bernilai kurang dari 1 milyar.
        Berdasarkan analisis dan identifikasi penerapan RPK maka pada penyajian hasil dan pembahasan dibagi menjadi 3 bagian yakni strategi penggunaan material dan peralatan konstruksi (MPK), strategi pengadaan dan pola RPK.
1.    Strategi Penggunaan Material dan Peralatan Konstruksi
Pada bagian ini memuat strategi yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan material aggregat kelas A, B dan C. Aggregat ini diperoleh dari campuran sirtu alam dan hasil pen-golahan batu karang, serta ketersediaannya cukup di semua wilayah kabupaten. Beberapa langkah strategis terkait pengel-olaan MPK yakni:
  • Banyaknya paket pekerjaan berupa pekerjaan dengan item mayor lapisan aggregat maka hampir seluruh paket pekerjaan jalan menggunakan alat perataan permukaan jalan dalam rangka membentuk permukaan secara mekanis, maka digunakan Grader. Menurut Wigroho dan Suryadharma (1993) terdapat dua jenis yakni motor grader dan towed grader, ditarik dengan traktor untuk penggeraknya. Namun investasi untuk motor grader sangat besar sedangkan kon-traktor kecil belum mampu untuk menyediakan, sehingga hampir semua pekerjaan jalan aggregat yang dikerjakan oleh kontraktor menyewa pada Dinas PU sebagai satu-satunya pemilik. Maka pekerjaan perataan yang menggunakan motor grader akan disubkontrakkan dan sebagai balas jasa berupa pembayaran akan di masukan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
  • Kondisi ini telah diantisipasi pemerintah dalam hal ini Dinas PU dengan mengadakan alat motor grader, sebagai upaya melindungi kontraktor kecil untuk mendapatkan peluang memperoleh pekerjaan. Selanjutnya oleh karena ketersediaan alat motor grader terbatas untuk melayani seluruh pekerjaan maka jadwal pelaksanaan pekerjaan di atur seefisien mungkin agar dapat melayani seluruh paket pekerjaan.
  • Peralatan konstruksi lainnya yang cukup vital adalah alat pemecah batu (stone crusher). Selama ini alat pemecah batu telah dimiliki hampir seluruh kontraktor masih tradisional dan terkendala dalam hal mobilisasi ke site dan mensetting atau merangkai yang membutuhkan waktu agak lama. Sejak tahun 2010, sebuah kontraktor melakukan inovasi dan diikuti oleh beberapa kontraktor, alat pemecah batu yang dulunya statis beralih ke alat pemecah batu yang lebih dinamis. Penggunaan alat pemecah batu yang lebih dinamis berupa Stone crusher dump truck telah mengurangi kelemahan alat pemecah batu konvensional yang sudah ada, kelebihannya berupa pengurangan waktu setting, mobilisasi lebih efisien, produktifitas lebih stabil dan dapat digunakan pada beberapa proyek dengan lokasi yang berbeda.
  • Penggunaan inovasi stone crusher dump truck   dan motor grader telah mendorong dinas PU untuk dapat memfasilitasi para kontraktor untuk melakukan kemitraan (partnering) berupa kerjasama diantara dinas, kontraktor (subkontraktor) dan konsultan sehingga mempersingkat waktu pekerjaan dan hasil pekerjaan dapat dipertanggungjawabkan.
2.    Strategi Pengadaan/Procurement
    Proses pemilihan kontraktor dan supplier digunakan oleh dinas PU sebagai sarana memilih rekanan yang dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan mekanisme lelang yang sesuai. Beberapa strategi yang dilakukan sebagai berikut:
  • Paket pekerjaan jalan dan jembatan dipecah menjadi be-berapa paket pekerjaan sebagai salah satu strategi pengadaan pada jaringan RPK untuk pemerataan paket pekerjaan bagi kontraktor lokal yang berjumlah lebih besar dari kontraktor besar (kontraktor kecil 80–90 %, dan sisanya kontraktor besar).
  • Strategi pembagian paket ini juga merupakan strategi untuk mengatasi kondisi geografis luas dan sulit terjangkau, paket pekerjaan jalan dan jembatan yang tersebar di berbagai wilayah dan lokasi, dan waktu pelaksanaan yang sangat singkat.
  • Peran supplier dalam proses pengadaan perlu dipertim-bangkan, walaupun tidak masuk dalam kewenangan sistem lelang paket pekerjaan namun secara tersirat turut diper-timbangkan oleh panitia lelang. Ketersediaan material non lokal (semen, aspal dan besi) perlu dipastikan untuk keper-luan seluruh paket pekerjaan. Material non lokal dida-tangkan dari luar pulau (pulau Jawa) sedangkan material lokal agregat dan batu ketersediaannya cukup di seluruh Kabupaten Sumba Timur serta diperlukan kepastian jumlah untuk diproduksi sesuai kebutuhan.
  • Kontraktor diharapkan untuk menerapkan strategi penga-daan material non lokal dan peralatan konstruksi dengan memesan dari luar pulau (pulau jawa) sesuai estimasi kebutuhan pekerjaan. Hal ini untuk mengantisipasi keterlambatan pengiriman dengan melalui kapal laut yang sangat tergantung pada cuaca. Walaupun diperhadapkan akan kondisi ketidakpastian akan memperoleh pekerjaan yang diinginkan.
  • Dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan di atas maka diperlukan strategi partnering atau kemitraan di antara para kontraktor dengan pemakaian peralatan konstruksi bersama dengan sistem sewa alat atau subkontrak dengan mempertimbangkan kemampuan alat dan waktu. Sedangkan un-tuk pengadaan material lokal dan non lokal dilakukan bila kontraktor yang bersangkutan telah memesan namun tidak memperoleh tender pekerjaan.
  • Dinas PU tidak hanya sebagai penanggungjawab pekerjaan dengan proyek berbiaya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk mengelola jalan kabupaten, namun juga bertanggungjawab sebagai pembina jalan negara dan jalan provinsi dalam wilayah kabupaten. Selanjutnya bentuk kontrak pekerjaan konstruksi, tidak hanya dalam bentuk kontrak harga satuan (unit price) tetapi dinas PU mengelola paket pekerjaan swakelola karena alasan khusus jenis pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh dinas PU atau dinas PU selaku kontraktor pemerintah. Oleh karena itu, dinas PU sebagai owner diharapkan melakukan strategi dan kebijakan yang akan mensinkronkan dengan tugas dan fungsi utama dan tugas/fungsi lainnya yang melekat.
  • Sinkronisasi tugas/fungsi ini dilakukan karena akan melibatkan penggunaan sumberdaya manusia dan peralatan yang sama untuk beberapa tugas dan tanggungjawab berbeda dan tujuan yang berbeda pula. Harmonisasi ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi manajemen proyek melalui sistem RPK.
3.    Pola Rantai Pasok Konstruksi
    Setelah mengkaji strategi penggunaan MPK dan strategi pengadaan, akan memudahkan untuk memberi pola pada pelaksanaan RPK pada pelaksanaan proyek jalan kabupaten. Secara mendasar terdapat 2 pola yakni pola RPK paket pekerjaan besar M (bernilai > 1milyar) pada Gambar 5. dan pola RPK paket pekerjaan kecil K (bernilai < 1 milyar) pada Gambar 6.
(i)    Pola RPK paket pekerjaan besar M (bernilai>1milyar).
Pola ini menunjukkan dinas PU sebagai owner melakukan fungsi untuk menjembatani pelaksanaan proyek jalan dan jembatan kabupaten dengan elemen pelaksana pekerjaan berupa kontraktor, konsultan, dan pemerintah daerah terkait pada level organisasi proyek dan manajemen administrasi. Pada pola ini kontraktor sudah mencapai kematangan dengan atribut perusahaan yang lengkap.
(ii)    Pola RPK paket pekerjaan besar K (bernilai<1milyar).
Seperti pada pola M, perbedaannya pada pola ini peran dinas PU lebih berinisiatif untuk membangun aliran informasi dan aliran material dan peralatan konstruksi. Penggunaan alat perataan/motor grader difasilitasi untuk kontraktor mengakses dan menggunakan alat tersebut dalam penyelesaian pekerjaannya. Model kemitraan yang digunakan yakni dengan sewa alat atau subkontrak pekerjaan. Sedangkan pembentuk pola yang lain sama dengan pola pada paket M.
        Kedua pola ini menggambarkan owner made product, Hal ini sesuai dengan peran owner atau dinas PU sebagai pemilik proyek pemerintah. Inisiatif terjadinya proses produksi kon-struksi yang dimulai dari owner (dinas PU) dan diakhiri oleh owner, sehingga peran yang besar dari owner untuk membentuk jaringan RPK pada proyek jalan dan jembatan.
Produk konstruksi jalan dan jembatan yang diproduksi memiliki tujuan penyediaan barang publik untuk fasilitas infra-struktur yang mendukung pembangunan di daerah, sehingga peran aktif pemda melalui dinas PU untuk membentuk jaringan RPK yang efisien dan efektif.
        Gambar 5. dan Gambar 6. menunjukkan pola tersebut dibedakan berdasarkan nilai proyek, perbedaan tersebut memu-dahkan dalam memonitoring dan evaluasi. Konstribusi paling mendasar dalam pembentukan pola jaringan ini adalah owner (dinas PU) untuk mengkolaborasikan aspek manajemen proyek konstruksi dengan tata kelola administrasi birokrasi pemerintah sehingga menjadi sinergi dan efektif.
        Terbentuknya pola RPK yang stabil di tengah karakteristik sektor konstruksi yang temporal, dinamis, kompleks dan ter-fragmentasi maka diperlukan usaha strategis berupa pemben-tukan pola kemitraan (partnering) yang sesuai konteks kultur setempat dan kultur birokrasi. Potensi penerapan kemitraan antar semua elemen di dalam proyek disesuaikan dengan tingkatan dan peran organisasi proyek.



Gambar 5. Pola Rantai Pasok Konstruksi Paket Pekerjaan Besar M (> 1 Milyar).




Gambar 6. Pola Rantai Pasok Konstruksi Paket Pekerjaan Kecil K (< 1 Milyar).

SIMPULAN
Beberapa simpulan yang diperoleh pada penelitian ini sebagai berikut :
  • Pelaksanaan otonomi daerah telah memberi peluang bagi penerapan sistem RPK pada proyek jalan dan jembatan di setiap kabupaten/kota dan sejalan dengan semangat reformasi tata kelola pemerintahan.
  • Pengerjaan proyek jalan dan jembatan pada dinas PU kabupaten didominasi oleh pekerjaan lapis penetrasi (lapen) dan lapisan aggregat serta dikerjakan oleh kontarkator kecil atau dengan nilai paket dibawah 1 milyar.
  • Penerapan sistem RPK pada proyek jalan dan jembatan kabupaten dapat di kaji melalui strategi penerapan pada saat penggunaan MPK dan pengadadaan.
  • Strategi penggunaan MPK dilakukan melalui pengadaan alat perataan permukaan jalan (motor grader), Hal ini karena membutuhkan investasi awal yang besar. Pengadaan alai ini untuk dapat digunakan oleh oleh kontraktor kecil dengan sistem sewa alat atau subkontrak dan sebagai balas jasa dibayar pada kas daerah (PAD).
  • Inovasi dilakukan pada penyediaan peralatan pemecah batu (stone crusher) yang lebih dinamis agar mudah di mobilisasi dan tidak membutuhkan waktu setting alat. Untuk itu digunakan stone crusher dump truck, sehingga alat pemecah dapat dengan mudah dimobilisasi dan tidak perlu di setting.
  • Strategi pengadaan proyek pekerjaan dilakukan dengan pemecahan paket pekerjaan menajdi beberapa bagian, dengan maksud untuk mengantisipasi struktur pasar agar berimbang/pemerataan, menagntisipasi pelaksanaan yang sempit dan lokasi pekerjaan yang tersebar dengan keterjangkauan yang sulit.
  • Ketersediaan material non lokal perlu diperhatikan karena untuk menyediakan membutuhkan waktu dan moda transportasi antar pulau dan sangat tergantung pada kondisi cuaca.
  • Antisipasi kelemahan dan kekurangan strategi penyediaan MPK dan pengadaan maka digunakan pendekatan kemitraan/partnering.
  • Dinasi PU perlu melakukan sinkronisasi tugas dan fungsinya dalam pengelolaan paket proyek APBN, APBN dan paket swakelola.
  • Pola penerapan RPK pada proyek jalan dan jembatan terbentuk menjadi 2 pola yakni pola umum (paket pekerjaan M) dan pola khusus (paket pekerjaan K), perbedaan kedua pola ini terletak pada paket K, peran pemerintah sebagai owner memfasilitasi anggota RP untuk dapat berkontribusi dalam sistem RPK secara keseluruhan.

REKOMENDASI
Rekomendasi pada penelitian lanjutan yakni perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperoleh penomena pola RPK di seluruh daerah otonom dengan pendekatan kuantitatif sehingga diperoleh gambar menyeluruh penerapan pola RPK di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH
Pada akhir tulisan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sumba Timur dan jajaranya yang telah membantu selama proses penelitian ini.

REFERENSI
    Abduh, M. (2012). Rantai Pasok Konstruksi Indonesia. Konstruksi Indonesia 2012, Harmonisasi Rantai Pasok Konstruksi: Konsep, Inovasi dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, BP Konstruksi.
Chopra, S. & Meindl, P. (2007). Supply Chain Management; Startegy, Planning, dan Operation, Third edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Christopher, M. (1998). Logistics and Supply Chain Management, Second edition. Prentice Hall.
Hatmoko, J. U. D. (2008). The Impact of Supply Chain Management Practice on Construction Project Performance - PhD. Dissertation. Newcastle - UK: Newcastle University.
Juarti, E. R. (2008). Kajian Pola Rantai Pasok Pengembangan Perumahan, Tesis Master. Bandung: Program Magister Teknik Sipil, Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi - Institut Teknologi Bandung.
Kemendagri. (2010). Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Edisi: Juni 2009. Ditjen Otonomi Daerah Depdagri. Retrieved January 11, 2013, from http://www.kemendagri.go.id/basis-data/2010/01/28/daftar-provinsi
Lapu, A. S. (2004). Studi awal supply chain management pada kontraktor-kontraktor di Surabaya, Tesis Master. Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Noorlaelasari, Y. (2008). Pengembangan Indikator Kinerja Supply Chain Pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, Tesis Master. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Pujawan, N. (2005). Supply Chain Mangement - Edisi Pertama. Surabaya: Penerbit Guna Widya.
Rahmadi, M. A. (2008). Kajian Penerapan Manajemen Supply Chain Pada Proyek Konstruksi (Studi kasus pada PT. X), Tesis-Master. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Soemardi, B.W., Wirahadikusumah, R.D., & Larasati, D. (2007). Preliminary study on the Indonesia construction Industry Supply Chain System. International Seminar Proceeding of ASEAN University Network/Southeast Asia Engineering Education Development Network (AUN/SEED). Bangkok - Thailand.
Suraji, A. & Pribadi, K. S. (2012). Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Jakarta. Retrieved from lpjk.net/download/Updated_Konsep_Consolidated_Position_Paper.pdf
Susilawati. (2005). Studi Supply Chain Konstruksi Pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, Tesis Master. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Vaidyanathan, K. (2009). Overview of IT Applications in the Construction Supply Chain. Construction Supply Chain Management, (O’Brien, W.J., Formoso, C.T., London, K.A., dan Vrijhoef, R.). New York - USA: CRC Press LLC.
Vrijhoef, R. (1998). Co-makership in Construction-Towards Construction Supply Chain Management, Tesis. Delft: Delft University of Technology.
Vrijhoef, R. (2011). Supply Chain Integration in the Building Industry: The Emergence of Integrated and Repetitive Strategies in a Fragmented and Project - Driven Industry, Ph.D. Dissertation. Amsterdam: Delft University Press - IOS Press.
Vrijhoef, R., & Koskela, L. (1999). Roles of Supply Chain Management in Construction. Proceedings IGLC (Vol. 31, pp. 133–146).
Wigroho, H.Y., & Suryadharma, H. (1993). Pemindahan Tanah Mekanis. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.